Selasa, 23 Februari 2010

PENGANTAR NOVEL MENCARI CINTA


PENGANTAR PENULIS



BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Segala puji bagi Allah Tuhan Yang Mahaindah dan Mahacantik. Mulut lelah untuk mengucap syukur, hati lemas menanggung perjuangan, raga apalagi! Tetapi Dia tidak pernah melihat kelemahan hamba-Nya sebagai dosa, melainkan alpa yang harus diampuni.
Shalawat dan Salam semoga terlimpah curah selalu kepada arwah dan raga Kanjeng Tuan Nabi yang budiman; Muhammad Rasululloh Saw, keluarga ahli bait yang mulia dan suci serta para sahabat, ulama, para wali, salihin-salihat, mu’minin-mu’minat, muslimin dan muslimat dimana saja mereka berada.
Sebuah Novel yang sudah saya rintis sekian lama akhirnya rampung pada bulan Ramadhan 1429 Hijriyah yang penuh berkah. Bertepatan dengan tahun 2008 bulan September. Sebuah upaya yang sangat melelahkan setelah jatuh bangun menambal dan memperbaiki kekurangan isinya disana-sini.
Awalnya saya berpikir, bisa membuat sebuah buku fiksi seperti ini dengan tampilan yang agak berbeda dengan buku-buku fiksi lain pada umumnya, yaitu semasa masih aktif kuliah di Fakultas Tarbiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ternate dulu. Sejak itu saya sudah memulai menulis dengan judul yang berbeda-beda; Pertama kali saya gunakan judul ARIF MENCARI CINTA, tetapi setelah jauh melangkah judul itu saya rubah; CINTA BERPENDAR DI ATAS BUMI MAKARA, namun lagi-lagi saya rombak total judul dan sebagian besar isinya karena tidak konek dengan maksud awal; mengungkap rahasia cinta dalam pencarian.
Atas hidayah dan pertolongan Allah jua, akhirnya judul dan isi yang sekarang ada di tangan pembaca bisa rampung dengan baik. Didasari beberapa pertimbangan sederhana, Pertama ; untuk menyederhanakan maksud dan tujuan pembaca mengambil kesimpulan, maka proses penuturan kisah dalam Novel ini tidak monoton bercerita persoalan cinta, tetapi dipadukan dengan kebudayaan masyarakat Kur dan perjuangan manusiawi dalam menggapai tujuan dengan pernak-perniknya dan warna tersendiri sebagai implementasi keindahan lain milik Tuhan.
Kedua; sebagai pendukung pertimbangan awal itu, maka Novel ini dibagi perdua bagian; bagian pertama merupakan kisah yang langsung dituturkan oleh sang tokoh! Sehingga bagi setiap pembaca, seakan-akan ia sendiri yang menjalani proses-proses itu. Sementara, bagian kedua menganut gaya penuturan pasif. Artinya, kisahnya sudah dituturkan orang kedua dan atau orang ketiga, bukan lagi pelaku atau orang pertama. Maksudnya adalah agar di bagian ini pembaca bisa memetik hikmah secara lengkap dan lebih mendalam.
Ketiga; sebagai pengayaan pada dua bagian akhir Penulis menyertakan bacaan suplemen dari kisah cinta yang mengharu-birukan rasa yang terambil dari karya agung sufi terkenal Fariduddin Al Athar tentang kisah cinta Syech San’an dan gadis Rumawi bernama Cahaya Matahari. Disudahi dengan Munajat.
Semoga paket Novel ini menjadi sesuatu yang berguna dalam menambah referensi penghayatan terhadap nikmat tertinggi Tuhan yang disebut cinta, sehingga kita semua mewarnai hidup ini dengannya; mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya jua.
Kemudian selain dari pada itu, saya menekankan kepada Pembaca yang budiman bahwa isi novel ini bukan pengalaman seratus persen dari seseorang tokoh; justru itu tidak bisa disebut sebagai Novel fakta. Dan juga, tidak dikatakan fiktif seratus persen karena ada beberapa hal yang benar-benar fakta. Saya akan sebutkan biar Pembaca sekalian tidak bingung;
a. Sejarah dan adat istiadat masyarakat Kur dan beberapa tempat yang disinggung sebagai bagian dari alur Novel ini memang benar-benar ada dan termasuk fakta.
b. Keberadaan tokoh pelengkap dari runutan keturunan tokoh utama (Muhammad Sobaruddin) dari jalur Raut Sinen, Leba Surein, Qua, kemudian informasi sekilas dengan marga Boiratan dan lainnya dalam isi Novel ini memang benar-benar ada. Hanya saja, proses penulisan ini dikaburkan pada tokoh utama sehingga tidak ada klaim bahwa isi novel ini murni pengalaman seseorang.
c. Pengalaman interaktif dari tokoh utama; meliputi latar belakang pendidikan dan karier memang murni merujuk kepada pengalaman Penulis sendiri agar lebih terfokus dalam merangkum tujuan utama.
d. Dalam beberapa hal, Penulis menyertakan catatan kaki pada beberapa kata maupun tempat serta nama sehingga bisa dirujuk dari sumbernya yang lebih autentik.

Hal ini harus saya kemukakan pada Pengantar ini sehingga melepaskan Penulis dari tuntutan dan klaim yang tidak seharusnya ada akibat terbitnya Novel ini, karena beberapa teman dan kenalan pada saat membaca naskah awal sempat mengajukan pertanyaan ; apakah Novel ini adalah akumulasi dari pengalaman hidup penulis sendiri? Maka sekali lagi saya jawab tidak seratus persen seperti yang sudah dikemukakan di atas.
Demikian, sebelum disudahi saya persembahkan terima kasih serta penghargaan sebesar-besarnya kepada semua yang menginspirsi lahirnya karya ini. Kepada ayah bunda, semoga Allah SWT mengasihi kalian seperti kalian mengasihani nanda semasa kecil. Kepada kedua adik saya yang merelakan masa muda mereka terenggut untuk studi kakak mereka; Fiqih Maruf dan Anwar Zadat semoga Allah menunjuki kalian jalan kembali yang lurus kepada agama-Nya.
Kepada guru-guru saya di SD hingga Perguruan Tinggi; Bapak J.Renhoran, Bapak Santiasa Boyratan, Johanis Samderubun, J. Yamlean, Taher Maswatu (Almrhm), A.Kadir Rettob, M. Rumles (Almrhm), Dahlan Ohoirenan, M.Lutfi Ohoirenan.
Kepada dosen-dosen saya; M. Yahya Misbah MA (Sekarang sudah dimana Pak setelah tidak lagi menjabat Ketua STAIN? ), Drs. Abdjan Yahya. M.Ag, DR. M. Ishom Yoesqy, MA (Biar sudah ditarik kembali oleh Departemen Agama RI Pusat tapi lihat-lihat kami yang di Ternate juga, yah Pak!), DR. Abd. Rahman Marassabesy, MA (Terima kasih atas bimbingannya dalam menuntaskan Skripsi Tasawwuf saya) Bpk DR. Yunus Namsa, Msi, Bpk Adnan Mahmud, MA, Sahjad M. Aksan MA, Dra. Junaena Misbah, Sulaeman L Azis, Msi, Jubair Sitomorang, MA, Dra. Basaria Nainggolan MA, Hamzah Giling MA. Pak Dosen yang guyonan filsafatnya merontokkan nyali Bapak DR. Syarifuddin Ghazal M.Si.
Kepada seluruh civitas akademika STAIN Ternate. Kepada Dosen dan orang paling berjasa mengenalkan dasar-dasar jurnalistik praktis kepada saya; Bapak DR. Arifin Rada, SH, MH saya ucapkan banyak terima kasih atas jasanya tidak sanggup saya balas. (Maaf Pak! saya masih merepotkan dengan harus meminta sambutannya, he he).
Kepada Kanda Ust. Nawawi Saidi Karit, SHI dan istrinya Nurul’aini Hanafi serta dua ponakan saya yang cakep dan menawan Muhammad Fikri Haikal Annawawi dan Siti Kholila Humaira Annawawi, Abang Ali Lafuku dan istri Kak Ida Boiratan serta anak-anak; Jana (Almrhmh), Alan, Dafi, Wati dan Hilda, Abang Djen Boyratan dan istri, Om Muhammad Mardjan Rumagorong (Almrhm) dan Mama Ani serta anak-anak, Bapak Dayan Rumagorong dan Mama Fifa, Om Hairan dan Mama Bayu, Om Timo Salea dan Tante Ida Halim, Bapak Moh. Kasim Mafinanik dan Ny. Kaida Boyratan, Djuanda Boyratan (Almrhm) dan istri Ny. Eta Boyratan, Bapak Rustam Djohar dan Mama Ben, Abang Azis Fidmatan, S.Sos, M.Si dan Mba Yuni. Saudara-saudariku; Abdu, Abdul Hamid, Dali, Jamal, Cen, Erawati, Jamalia, Innoi, Nona, Sari dan segenap kelompok pelajar mahasiswa Kur di Ambon, khusus di Batu Tagepe.
Kepada komunitas mahasiswa Kur Fak Fak, Eman, Muh. Ali, Ema, Jani, Rizal, Safarudin, Abd. Salam, Abd. Latif, Saifudin, Mohrani, Erfina, Inda, Ona, Siti, Orip, Aci, dan lain-lain. Selamat berjuang untuk menuntaskan misi cita-cita (semoga sukses selalu). Tidak lupa juga karya ini kupersembahkan kepada adik yang gigih berjuang Fatma Letsoin (Kamu satu-satunya contoh terbaik Srikandi negeri Kilsoin yang megalir bagai air, merambah menembus dinding tradisi beku untuk menuntut ilmu di tanah Jawa. Saya bangga padamu).
Juga untuk mengenang Shandra di tahun 1999-2000 (semoga selalu bahagia bersama keluargamu). Juga untuk segenap mereka yang bersungguh-sungguh di jalan cinta, semoga Allah ridha dan menuntaskan misi mulia itu di dalam agama-Nya!
Spesial Novel ini kutulis sebagai hamparan mutiara untuk calon bidadari yang kelak mendampingi hidupku. (Semoga Allah mempertemukan kami dalam nuansa kesucian, saling mencintai dan membenci karena Allah semata, bukan harta, bukan rupa, bukan pangkat dan jabatan tetapi karena agama).
Kepada teman-teman di HIPMMAT Ternate, (bagaimana kegiatannya kini? ) kepada akhi dan ukhti para aktivis da’wah kampus (LDK) Al Ishlah STAIN Ternate dan Babussalam Unkhair Ternate, teman-teman di KAMMI/ KAMDA Maluku dan Maluku Utara, para aktivis kajian kiri dan kanan yang sempat bersentuhan dengan Penulis. Teman-teman di HMI MPO dan HMI DPO, PMII dan IMM baik di Maluku utara, Maluku, maupun Tual Maluku Tenggara.
Kepada Bpk Taraweh Djamaluddin Pemimpin Redaksi Harian Cermin Reformasi (Almrhm), Sobat-sobat saya para jurnalis yang tidak kenal lelah memperjuangkan kebenaran lewat ujung pena mereka; Burhan Hi. Ismail, Syahril Siradju, Wati, Udin, Uni, Alex, Lismawati, Ahyar Hanubun, Fatmawati dan lain-lain yang tidak habis-habisnya saya sebut walau ditambah beberapa buku lagi.
Kepada peserta Tranning Infestigative Report Jurnalisme Pice BBC World Service Manado angkatan 2005; yang juga turut menginspirasi penulisan Novel ini (saya sudah menulis! Bagaimana dengan teman-teman yang lainnya?)
Kepada guru-guru non formal saya yang dari mereka saya banyak belajar hal-hal yang tidak biasa. Kepada para sufi, para wali, para syuhada dan sholihin saya sampaikan do’a dan perantara semoga Ridha Allah menyertai usaha ini.
Akhirnya dari lubuk hati yang paling dalam saya sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang tidak berkenan dalam penulisan Novel ini, karena maksud saya tidak menghendaki ada kebencian yang lahir setelah membacanya melainkan cinta. Semoga bermanfaat, terima kasih sebanyak-banyaknya atas bantuan berbagai pihak yang memungkinkan karya ini bisa terpublikasi. Kepada Penerbit Yayasan Fatsual Mandiri saya ucapkan terima kasih atas kesediaan mempublikasikan karya ini. Semoga Allah membalas jasa baik kalian semuanya. Ma’assalamah wal afwu minkum.



Syahril Rumagorong

MENCARI CINTA (PART 7)


MENJADI MAHASISWA

Dessember kelabu, tibalah saatnya aku harus meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau ke negeri seberang. Aku harus rela menanggung sisi pilihan terberat dalam hidupku berpisah dengan Rita cintaku! Aku mau berubah dari anak kampung menjadi orang sukses dan berhasil! Aku mau maju dan membuang sekat orang desa yang dikesankan selalu tertinggal dan bodoh. Aku mau membawa seutas kesuksesan untuk Ritaku sayang. Aku ingin agar tradisi hidup dua dimensi yang bertahun-tahun menjajah kehidupan orang kampung seperti kami tidak berlaku atas diriku dan Rita. Maka tantangan ini harus kujawab. Aku harus merantau. Tapi bukan untuk mencari uang. Bukan untuk mengejar harta duniawi. Aku ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Aku ingin kuliah dan kuat tekadku untuk suatu saat dapat menggugat praktek hidup dua dimensi ; lahir dan kemudian mati di tempat seperti sebatang pohon yang tumbuh, berkembang besar dan mati di atas lahan yang ditumbuhinya tanpa mau bergeser.
Negeri yang kupilih adalah Ternate, bumi para Sulthan yang menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia bagian timur. Di negeri ini aku menjalani hidup keras dengan tantangan paling luar biasa. Aku sudah terlanjur ke sini, dan telah mendeklarasikan keinginanku untuk orang sekampung bahwa aku akan kuliah di sini. Mau urungkan niat? Itu perkara memalukan. Mau tetap dengan keinginan untuk kuliah? Tidak ada biaya. Waduh, pusing tujuh keliling. Tapi yakinlah aku dengan nasehat Tuhan yang saban waktu selalu menyapa gendang telinga batinku “ sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan.” Inilah uang dan hartakuku yang paling berharga, yang membantu meneguhkan keyakinan hatiku agar aku selalu memaknai namaku, si Sobar manusia sabar. Karena sabar akan jadi subur. Orang sabar selalu disayang Tuhan. Sabar akan mendatangkan kesuksesan. Sabar, sabar dan terus bersabar.
Tanggal 13 Juni, aku resmi diterima sebagai Calon Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ternate. Tiga hari berikutnya aku jalani tes masuk, dan sehari kemudian aku resmi dinyatakan diterima. Maka hari-hari selanjutnya aku menjalani proses hidup sebagai mahasiswa di perguruan tinggi Islam itu dengan penuh semangat.
Aku hanyutkan diriku dalam mempelajari pemikiran-pemikiran ulama besar, dan berdebat tentang konsep keislaman moderen dan tradisional. Aku berpapasan dengan pemikiran cemerlang Imam Al Ghazali, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ibnu Thaimiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, Syaid Quthub, berjumpa dengan ide-ide brilian Hasan Al Banna. Aku juga berdialog dengan pemikiran Fazlurrahman, Ali Syariati, Hasan Turaby, Muhammed Arkoun dan lain sebagainya. Seru, asyik dan mendebarkan hingga menantang sisi keimanan paling terdalam di hatiku tentang apakah Islam?
Apakah aku ini seorang Muslim? Kafirkah aku jika aku tampil mempertanyakan keyakinanku fa aina Allah? Dimanakah Allah? Musyrikkah aku jika aku terpeleset memaknai ajaran ittihad dan hulul yang mengantarkan Husein bin Manshur Alhallaj ke tiang gantungan lantaran tidak kuasa dan sanggup menahan rayuan alam malakut untuk berujar faseh “anal haq ?”
Siapkah aku untuk tampil berpaham ketuhanan seperti Syekh Siti Jenar di tanah Jawa yang mengajarkan paham Manunggaling Kawula Gusti yang akhirnya dihukum Dewan Wali sebagai orang sesat yang kemudian dihukum bunuh dengan keris pusaka oleh Sunan Kalijaga? Ah, terlampau dini! Toh, aku hanya pembelajar. Seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa!
Di negeri yang dijuluki Maloku Kie Raha, aku habiskan waktu tujuh tahun untuk menuntut ilmu sambil belajar lepas tentang segala hal. Tentang organisasi, pencarian jati diri, tentang realitas hidup, makna perbedaan dan bahkan yang paling fundamen tentu saja adalah mencari tahu arti cinta yang terus menjadi misteri dan mendalaminya di setiap ruang dan sudut negeri itu.
Aku semakin tertantang untuk menguak tabir cinta; tatkala rasa rindu dan cinta semakin menyayat-nyayat batin hatiku lantaran jauh dari Rita gadis pujaanku. Jauh dari orang tuaku. Jauh dari semua teman-teman masa kecilku. Aku rindu keindahan di dekat mereka semuanya. Aku rindu duduk bersama teman-teman di pantai Wermasa dan membakar daun-daun kelapa kering sambil menyaksikan sunsit pemandangan matahari senja di laut lepas ambil bercanda ria.

MENCARI CINTA (PART 6)

JATUH CINTA

Kata apa sebenarnya ini? Cinta! Berapa tingginya? berapa dalamnya? berapa panjangnya? Apa warnanya? Siapakah makhluk bernama cinta? Dimana ia tinggal? Kapan ia datang? mengapa ia ada? dan bagaimana ia mengenalkan dirinya? Siapakah yang bisa menjawabnya?
Pertanyaan yang telah membuat Qais menderita gila hingga akhir hayatnya tidak pernah bersua jawabnya. Ia malah menabrak sanksi sosial yang dengan kejam memberi gelar Majnun di atas pundaknya. Kata ini juga yang membuat seorang alim dan cerdik semisal Zainuddin tidak berdaya dalam mempertahankan ego dan rasanya kepada Nur Hayati. Lalu maut datang merenggut halus nyawanya lantaran menanggung wujud kata ini.
Juga kata inilah yang menabuh rasa penyatuan teramat sangat dalam sukma Syirin si wanita tercantik jagat hingga ia membenamkan dengan tangannya sendiri sebuah belati putih mengkilap ke dalam jantungnya disamping lubang kuburan Khusrau suaminya.
Kata Cinta jugalah yang membuat Zulaikha tergila-gila pada Yusuf dan nekat menanggung sengsara batin akibat memenjarakan Yusuf cintanya dan lalu diam-diam menanggung luka perbuatannya hingga wajahnya berubah tua sebelum saatnya, padahal ia masih berusia muda.
Duhai! Apakah makna dan rupa cinta itu? Seperti emaskah dia? Atau semanis madukah? Atau selicin kaca haluskah? Wallahu a’lamu bissowab! Aku tidak tahu sebagaimana saudara juga tidak tahu.
*****
Jemariku hampir kaku menorehkan tinta dari ujung kwas dan menyapukannya di atas hamparan kain lukisan di depanku. Aku awali dengan mengukir bola matanya. Konon Tuhan juga menjadikan manusia di alam rahim diawali dengan pembentukan mata pada kali pertama. Maka mata yang kulukis dengan penuh hati-hati. Aku tuangkan tinta dengan melibatkan segenap rasa dan sukmaku! Menghasilkan dua bola mata kekasih yang sangat menawan. Apalagi ketika alisnya melengkapi. Sebuah ketakjuban yang hanya bisa diwakili dengan kalimat suci Tuhan; “Subhaanallah”. Alangkah eloknya!
Wajahnya berbentuk bulat telur dengan hidung mancung dan bibir sedikit terbuka. Poni rambutnya kubiarkan kwasku menorehnya membelah di atas jidatnya, dan wajahnya mirip Masakooya , yang bersinar cemerlang menerangi ruang gelap kehidupan. Sempurna! Tak ubah rupa Dewi Venus sedang dicopy pada halaman kain ukisan hasil karyaku! Bintang Yunani yang menjadi idola dalam legenda kuno dan sempat mewarnai blantika tuturan dunia tentang rupa kecantikan. Tidak salah lagi, inilah dia wajah gadis kampung bernama Shandra.
Aku pandangi wajah lukisan tanganku dengan kagum. Kurasakan geteran aneh itu muncul dengan tiba-tiba. Ia merayap melalui syaraf mataku, menembus retina dan mengirim sinyal listrik ke otak lalu membentuk gelombang magnetis bergumpal-gumpal menyerang benteng pertahananku dan menjebolnya hingga aku tidak berdaya di hadapan poster menawan yang aku lukis sendiri.
Keringat bercucuran dari jidatku dan masuk menembus bola mataku! Membuat pandangan mataku sedikit kabur menatap poster lukisan Shandra. Kulihat ia tersenyum. Ruangan kamarku berubah menjadi terang, serasa rembulan sedang jatuh dari langit dan berpendar di bawah plafon rumahku! Aku jatuh cinta. Yah jatuh cinta. Tapi apa itu cinta? Aku tidak tahu mengartikannya, selain rasa keindahan dalam desiran nafas dan urat nadi hidupku yang bisa kurasakan dan kukatakan kepada setiap penanya, apa itu cinta?
Dua hari lagi, gambar lukisan itu sudah harus kukirim ke Tual untuk menemui pemiliknya yang berjuang menuntut ilmu di sana. Aku masukkan gambar itu dengan hati-hati ke dalam sebuah amplop coklat panjang dan kutuliskan nama serta alamat Sandra pada sampulnya. Tidak lupa kumasukkan juga sebatang bunga Kae Faur Puis Waja dengan sepotong kertas putih yang kutuliskan pantun kuno;

Kae Faur Puis Waja Imatoot la keel woen bunung be mo ma. Limam rua nennenik matam rua lok-lok bunung bee mo maa.
Oleh orang yang menaksir wajahmu dan mengharap cintamu. Sobar!

Genap satu minggu setelah gambar itu kukirim menerobos selat Faut Kapuin yang ganas hingga selat Er Ngodan yang selalu minta korban pada musim barat. Dadaku selalu berdebar, dan malam harinya selalu berkeringat. Aku sesak nafas bukan karena gejala TBC atau terkena virus HIV, sungguh tidak sama sekali karena berdasarkan diagnosa dokter Puskesmas aku dikatakan normal-normal saja.
Aku baru tahu bahwa keringat dan sesak nafas itu karena alamat akan mendengar kabar tidak sedap. Aku ditolak. Cintaku ditendang Shandra dengan bahasanya yang santun tapi sungguh menyakitkan seluruh sendi-sendi tulang belulangku; “Kita bersaudara saja!”
Bersaudara? Apakah aku siap menerima sikap generalisir perasaan atas nama persaudaraan yang ditawarkan Shandra untuk membunuh hawa perasaan cintaku padanya? Ah, aku tidak siap. Aku tidak akan sanggup mematikan rasa cinta ini hanya untuk mengamankan arti persaudaraan, karena perasaanku untuk Shandra tidak sama dengan perasaanku ke saudara-saudaraku yang lain. Saudara sekandung, sepupu satu kali, sepupu dua kali, dan seterusnya. Perasaanku jika kubedah dengan pisau analisa maka ia tidak sama. Beda jauh antara langit dan bumi. Perasaan untuk saudara-saudaraku bergerak di area linear, sedangkan untuk Shandra ia menukik naik dan turun berupa garis diagonal gelombang-gelombang radio yang menyusup menembus dan merembes di udara. Beda! Sungguh sangat berbeda. Bagaimana Shandra melemparku ke kotak alasan yang sama sekali tidak nyambung? Tapi biarlah, mungkin saja perasaan ini hanya mendera aku. Aduhh….tidak adil rasanya cinta harus bertepuk sebelah tangan. Tapi apa mau dikata, memang aku harus menerima kenyataan.
Walau begitu, aku selalu berusaha meyakinkan Shandra lewat surat demi surat yang kukirimkan kepadanya. Walaupun seribu kali kukurim surat seribu kali ditolak aku tetap bangkit dan mencoba. Aku merayunya dari berbagai sisi yang bisa aku lakukan. Tapi tetap saja tidak membuahkan hasil dan aku tetap terseret ke pojok kekecewaan. Cintaku selalu ditolaknya. Aku terpaksa merelakan jiwaku untuk menanggung sisi gelap dari penolakan yang dinamakan kekecewaan, frustrasi, stres dan entah nama apa lagi. Aku terpuruk ke dasar perasaan yang kubangun sendiri. Hampir mati aku memendam rasa suram dan lebam dihantam badai penolakan. Aku menarik kesimpulan kedua, cinta memang kejam.
Pada Dessember tahun Kabisath, aku resmi memutuskan untuk berhenti dari tindakan bodoh merayu Shandra. Aku capek menjadi insan perayu. Harga diri, nama baik, kehormatan dan seabrek sematan sebagai anak adat yang tahu adat dan aturan jadi melorot habis di kaki kenyataan penolakan yang aku temui. Siapa aku? Apa itu cinta? Semakin menjadi misteri dan sulit dimengerti.
Pada tahun berikutnya, tiga gadis paras nan ayu datang lagi ke rumahku minta dilukis. Kali ini seorang dengan bodi semampai menyamai bentuk guitarnya Rhoma Irama memang agak lain dari yang lain. Wajahnya cantik alami, jelita bak matahari terbit yang merontokkan gelapnya malam dengan tukikan cahayanya yang kemilau. Inikah Telyoor yang dipuji-puji para pejalan malam? Inikah dia ratu kecantikan Marlyn Monroe yang tersesat dan terdampar di Pulau ini? Hatiku kembali merajut benang kesengsaraan yang sudah lama kuhempas dari lukisan Shandra sebelumnya. Rasa indah itu kembali bersemi, dan mengispirasi karya lukisanku kali ini dengan polesan agak klasik tapi tetap memiliki cita rasa tinggi. Mungkin inilah lukisan Monalisa gaya kampung, yang sesungguhnya memiliki esensi nilai estetika yang tidak berbeda dengan hasil karya Leonardo Da Vinci itu.
Keterpikatanku pada pemilik bodi guitar melupakan aku pada dua temannya yang lain. Gadis dari tetangga kampung, pemilik bodi tinggi semampai, hidung mancung yang juga ala bintang Kejora, pemilik mata lentik bagai rembulan empat belas hari. Raja dan ratu kecantikan sejagat yang menggoncang catwalk perasaanku. Aku terharu biru oleh hantaman aura cinta akibat terlampau lama menatap mata gadis bernama Rita ini. Aku kasmaran lagi. Aku jatuh cinta lagi. Tapi, apakah dia mau menerima ungkapan cintaku?
Ah cinta memang aneh! Aku sudah memiliki pengalaman paling menyakitkan tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Paling tidak, ini bisa menolong aku untuk tidak jatuh tersungkur kedua kali jika aku terpaksa ditendang lagi dengan sepakan Kiba Dachi atau tendangan putar kibasan ekor harimau menyapu mangsa.
Biarlah, akan kucoba untuk mengatakan ini padanya. “I Love you” tapi bagaimana caranya? Oke, aku akan gunakan cara sebagaimana yang kulakukan pada Shandra dulu. Lukisan Rita sudah rampung pada hari kedua, dan hari ketiga ia sudah menerimanya. Ia membuka bungkusan amplop coklat dan mendapatkan sehelai bunga Kae Faur Puis Waja yang kusematkan dengan sehelai kertas bertuliskan puisi karyaku yang diilhami oleh buku-buku Kahlil Gibran penyair legendaris Lebanon;

Jika kumelihat tatapan cahaya mata lukisanmu, aura hatiku bergemuruh laksana gemuruhnya Sungai Nil yang meluap-luap di Mesir. Aku terhempas dan terapung di atas Sungai Gangga India dan terdampar di halaman Taj Mahal. Sempurnalah kecantikan yang terpatri pada dirimu laksana bidadari. I Love You.

Beda dengan Shandra! Rita tampak puas dengan karya lukisanku dan sederetan tulisan pada helai kertas putih diapit kelopak kembang Kae Faur Puis Waja . Rita tampak tenang dan menikmati pujianku dengan suka cita. Sikapnya ini membuatku kehilangan kendali untuk memacu langkah mengejar cintanya. Aku yakin Rita pasti mencintaiku. Aku lihat gemuruh rasa itu lewat tatap matanya yang berbinar-binar. Pada senyumnya yang merontokkan bulu nyawa. Pada desah nafasnya yang menggoda. Ia laksana batu permata jamrud dan mutiara yang tercecer di atas muka bumi. Pasti jadi incaran dan rebutan para kafilah yang berlalu.
Dalam hatiku terbesit semangat dan keinginan yang begitu kuat untuk menjadi orang beruntung yang kelak memiliki gadis Telyoor ini. Ia adalah mutiara berharga yang tidak boleh jatuh ke tangan penghianat dan perusak dunia. Ia adalah lembaran kertas suci yang tidak boleh ditulisi oleh manusia goblok, bebal dan bodoh. Tapi duhai, kiranya siapakah pangeran beruntung yang akan mendapatkan cinta Rita? Aha, cinta, cinta dan cinta! Aku tidak tahu apa arti kata ini, tapi aku nyata-nyata merasakannya. Sungguh!
Hari-hari terus berlalu. Dan aku semakin jatuh dalam perangkap cinta baru bersama Rita. Tidak aku sadari, bahwa pergantian sekon ke detik, detik ke menit, menit ke jam terus mengantarkan umur kehidupanku semakin bertambah dan aku tetap berputar mengelilingi patung cinta bernama Rita. Yah! Rita yang jelita, yang sekali memandangnya membuncahkan perasaan berbunga-bunga sepanjang hari.
Rita yang sekali mencium wanginya tetap meninggalkan bekas aneka kembang selama berhari-hari. Wangi khas bunga-bunga perawan di pagi nan indah. Yang kelopaknya merah meranum berkilau diterpa cahaya mentari pagi. Paduan keindahan dunia antara kecantikan langit dan bumi menyatu dalam desiran nafas dan rotase perjalanan darah di tubuhnya. Aku terhempas dan jatuh semakin erat dalam potret kecantikan wanita ini, melebihi rasa jatuh cinta kepada wanita manapun di dunia ini.
Aku semakin bersemangat untuk mendekatinya, dan dia memberiku peluang itu sehingga persasaanku membuncahkan perasaan berbunga-bunga sepanjang hari. Hilanglah rasa letih lesu dan hidup seperti mendapatkan suntikan obat semangat dengan takaran 100 cc.
Selalu terkenang dalam ingatanku betapa lembut dan halusnya jemari bak sutra yang pernah menyentuh lenganku. Saat berjabatan rasanya jari-jari kasarku ini tidak mau melepaskan daging-daging jemarinya karena begitu nyaman kurasakan daging lembut jemari itu dalam genggamanku!!
Kala malam tiba, jantungku semakin berdesir karena menahan rindu yang teramat berat untuk bersua dengannya. Walau hanya bisa menemuinya di sela-sela waktu yang tercuri agar tidak dicurigai oleh keluarga besarnya yang menginginkannya tetap dalam lingkaran gelar bangsawan Boyratan Timbang Tanah. Ini gelar pusaka yang mewarisi darah kaum ningrat dan anak keturunan Raja dan Rita masuk dalam lingkungan itu, sehingga bagi orang biasa atau tidak bersentuhan dengan gelar adat ini dipantangkan untuk dijadikan calon suami ataupun istri.
Tapi apa arti semua gelar dan sebutan? Jika cinta telah berbicara, maka tahi kucing juga dianggap cokelat. Artinya semua kejelekan dan kekurangan tetap baik dan sempurna dimata pecinta. Maka seperti itulah cintaku dan cinta Rita bersemi. Sekalipun dalam kondisi tertentu Rita tidak seratus persen menampakkan simpati cintanya itu meluber seperti aku. Tapi aku sangat yakin, ia mencintaiku.

Rabu, 17 Februari 2010

MENCARI CINTA (PART 5)

ANAK MALU TANGGUNG RUGI

“Hidup adalah perjuangan. Dan setiap perjuangan butuh pengorbanan. Kalian harus bisa menunjukkan bahwa anak-anak dari kampung dan desa-desa pulau terpencil seperti kita juga bisa melakukan hal-hal besar dan luar biasa. Untuk itu kalian harus bertekad untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalian harus terus sekolah. Kalian harus lanjut.”
Anak-anak kelas VI SD Negeri Kilsoin duduk terpaku di kursi masing-masing. Tidak ada satupun yang berani berbisik dan mengeluarkan suara. Alam serasa sunyi sepi. Dan kami semua sementara ditampung di dalam ruang sepi itu tanpa berdaya. Masing-masing telinga berdiri bak radar penangkap sinyal yang merekam seluruh pembicaraan Bapak Kepala Sekolah Johanis Samderubun tanpa tertinggal koma, tanda petik, tanda seru, tanda tanya hingga titiknya. Semua pasti tahu, semua pasti mengerti. Karena orang tua itu berbicara dengan sangat jelas dan terang.
“Anak-anakku! Tahukah kalian bahwa Soeharto presiden kita sekarang adalah anak seorang petani dari desa Kemusuk. Masa kecilnya jadi gembala kerbau dan karena ulet dan bersemangat untuk belajar, maka tekadnya itu mengantarkan dia menjadi manusia besar yang menjadi pemimpin bangsa ini”
“Kalian juga pasti bisa anak-anakku! Kalian harus bisa menjadi manusia. Bisa menjadi dokter agar ke depan bisa mengobati orang-orang kita yang sakit di sini. Kalian harus bisa menjadi Polisi, Tentara, Guru, bekerja di kantor dan seterusnya. Kalian harus bisa tunjukkan kepada orang Indonesia lain pada umumnya bahwa kita orang Kei dan orang Kur juga bisa! Harus ada diantara kalian yang bisa makan gaji Pemerintah!”
Aku putar leherku ke kanan, kiri dan mengamati satu persatu wajah-wajah yang ada di dalam kelasku. Mereka semuanya sedang serius mengikuti pembicaraan Kepala Sekolah. Tangan dilipat rapi di atas meja. Tatapan lurus ke depan. Mulut terkunci rapat dan semua sudah larut mernyatu dengan tema pembicaraan penting ini. Ibarat mereka adalah gula sudah lebur dan hilang wujud karena sudah larut dalam air. Tema pembicaraan itu adalah airnya!
Itulah kenangan paling indah. Saat bunga-bunga kehidupan menawarkan persahabatan dengan ramah kepada dunia. Aku pandangi fotoku sebelum masuk sekolah dulu. Ah, rasanya sudah berbeda jauh dengan fotoku yang sekarang. Sebentar lagi aku harus jatuh bangun mencari jalan untuk mewujudkan impian orang tuaku. Lulus dengan nilai terbaik dan bisa lanjut sekolah. Aku harus dapat merealisasikan pesan dan nasehat Kepala Sekolah. Harus!! Harus!! Tidak boleh tidak!
Tanggal ujian pun sudah ditentukan. Persiapan hebat tengah digelar. Semua keluarga patungan mengumpulkan dana dan bekal. Kue berbagai jenis dan ukuran mulai disiapkan. Kambing jantan ukuran empat ratus lima ratus ribu mulai ditambat di pohon kelapa di samping rumah. Beras 50 kg dua tiga karung sudah didudukkan dalam rumah. Orang sekampung mulai sibuk, ada yang bawa limya buah pisang satu sisir, minyak kelapa satu botol, kayu bakar satu ikat, uang sesen dua sen rupiah buat tambah-tambah bayar utang atau beli kopi gula dan keperluan dalam ujian nanti.
Tinggal menghitung hari. Pesta besar bernama Ebtanas atau evaluasi belajar tahap akhir nasional sudah menunggu dengan dentuman lagu dangdut dan irama lagu Minangkabau sudah mendayu-dayu, onde’lamanyo ko la sara bi sarabi…onde’lamanyo ko la sarabi sarabi!! Yah, itu irama lagu Fetty dan Asben yang sudah merambah di negeriku dan hampir dihapal ratusan anak-anak kampung dengan Tep merek Sikko butut berbaterei enam atau delapan milik abang-abang atau om-om yang biasanya pulang merantau dari Irian Jaya (sekarang Papaua) dan Ambon.
Inilah dia pesta besar-besaran sebagai bentuk rasa syukur yang salah alamat kalau tidak dikatakan sebagi perbuatan mubazir jika anak-anak sedang mengikuti ujian akhir sekolah dasar pada masaku. Warga mulai dari Desa Kaimear di pulau paling utara Kur sambung menyambung ke pulau ibu Lokwirin, Finualen, Tubyal, Sermaf, Kanara, Warkar, Yapas, Rumoin, Fitarlor, Ngurmaloos, Hirit sampai tiga kampung Tiflen, Niela dan Fidol di dua pulau paling ujung di selatan Kur yaitu Mangur Fadol akan berkumpul di kampung Sermaf untuk merayakan pesta ulang tahun Ebtanas. Terpampang spanduk di jalan masuk kampung SELAMAT DATANG PESERTA EBTANAS. Tapi sayangnya engkau muncul dengan membawa segudang hutang. Batinku menggerutu ketika membacanya!!
Betapa bergengsinya pesta ini dirancang, sehingga esensi acara ujian nasional murid sekolahnya lebur dalam hingar bingar suara musik yang mendayu-dayu. Dari salon-salon raksasa yang memecahkan gendang telinga. Dimana hentakan kaki-kaki maju mundur merontokkan esensi lembar demi lembar halaman ilmu yang didapatkan di sekolah. Aku saksikan dengan mata kepalaku. Teman-teman yang sempat turun lapangan untuk berjoget ria setelah paginya harus masuk kelas untuk ikut ujian. Sebuah praktek ujian yang ganjil. Bukannya malam hari belajar keras untuk bertempur dengan soal keesokan harinya malah ikut berjoget ria. Gila!!
Mereka yakin dengan servis terbaik orang tua murid kepada guru-guru dan pengawas ujian yang datang dari Tual. Nilai ujian pasti istimewa dan paling tidak lulus saja. Persoalan mati hutang setelah ujian itu urusan belakangan. Yang penting anak ujian bisa diantar dengan deretan kue aneka warna, bau, bentuk dan cita rasa. Ada kue bolu, kue lontar, kue kering beragam bentuk, kue basah, kue tar dan macam-macam nama yang tidak perlu dihitung.
Nilai ilmu dalam ujian malah bergeser kepada persaingan pamer bentuk kue dan cita rasa masakan. Siapa yang suguhan daging kambingnya memenuhi isi piring dewan guru dan pengawas? Siapa yang atlutak -nya ditaruh antero memenuhi dalam piring kepala-kepala desa? Siapa dan siapa? Pemberi service atau layanan terbaik akan memperoleh nilai terbaik! Aku tidak tahu untuk apa penilaian model ini? Apakah hanya sekedar muslihat dari guru tertentu dan pimpinan kampung untuk terus menerus melanggengkan praktek ujian model ini biar tiap tahun harus ada pesta makan minum dalam jumlah besar? Wallahu a’lam. Aku tidak tahu! Aku tidak paham sampai hari ini! Yang jelas, ujian SD ini hampir dua kali lipat lebih meriah dan mahal dari pada acara Wisuda Sarjana di Perguruan Tinggi.
Tahukah saudara, ternyata praktek mubazir seperti inilah yang kelak membuat anak-anak di Pulau Kur ini tidak bisa melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena setiap selesai ujian orang tua murid langsung mati dililit utang piutang. Ujian murid SD berubah menjadi ajang untuk melilit leher para orang tua dengan tali utang. Begitu ujian usai, orang tua murid ini tinggal menuruti tali kekang yang melilit tenggorokan menuju tempat penyembelihan. Jatuh bangun bayar utang. Sadis memang!
Orang tua nekat menggadai dusun dan tanaman bukan untuk kelanjutan pendidikan si anak, tetapi justru untuk membiayai Ebtanas yang tidak terakomodir dalam aturan kurikulum itu. Ini aturan siapa? Kenapa tidak ada yang menggugatnya? Ah, orang kapung! Taunya hanya terima nasib tidak bisa protes. Apalagi berontak! Bisa-bisa dicap Komunis seumur hidup!
Apakah orang-orang ini pernah berpikir tentang tindakan bodoh ini? Bahwa andaikan biaya dan benda yang ada dikumpulkan untuk pendidikan lanjutan anak-anak pasti lebih memadai? Lebih dari satu tahun atau bahkan mungkin dua tahun dan tiga tahun sekaligus. Berarti biaya untuk dapat masuk ke SMP sudah dipakai habis untuk menyukseskan pesta foya-foya itu? Ya Tuhan!
Aku bersyukur kepada Tuhan, karena disamping lulus dengan nilai terbaik aku bisa melanjutkan pendidikanku pasca ujian tersebut tanpa sempat mengalami makhluk busuk bernama pengangguran. Dengan jatuh bangun aku merajut benang harapan itu diawali dari bangku Madrasah Tsanawiyah Ambon, SMP Alhilal Lokwirin hingga tamat di Madrasah Tsanawiyah Swasta Makara Pulau Kur. Dengan susah payah menanggung beban. Tapi aku berusaha dekat dengan Tuhan. Aku punya do’a! aku punya Dia yang punya segalanya. Keyakinanku bersemai kuat dan mengantarkan langkahku selamat menapaki kerikil-kerikil berduri dan meraih garis finish dengan seulas senyum bahagia. Lulus ujian Sekolah Menengah Pertama.
Tapi bagaimana nasib selanjutnya? Apakah aku bisa sekolah lanjutan atas di Tual? Ambon? Papua? Dari mana biayanya? Dengan apa aku ongkosi studiku? Jadi misteri. Gelap dan hitam pekat tidak terjawab!!
Pertanyaan yang membuatku kembang kempis. Aku adalah anak kampung. Pengalaman merantau tidak ada. Sekali aku keluar daerah yaitu ketika bertepatan lulus ujian dan melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Ambon. Tapi itu sudah empat tahun lalu. Lagi pula waktu itu aku masih seperti rusa masuk kampung. Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak kota belum seberapa. Karena hanya satu tahun aku harus pulang kampung karena konflik keluarga antara ayah dengan keluarga ibu. Pamanku yang adalah saudara ibu memulangkan aku ke kampung. Tamatlah riwayat pergaulanku dengan teman-teman beragam etnis di Ambon. Dengan Husein Bulla, Larajak, Arsad Wally, Wahyuni Ohorella, Saripa, Abdul Gafar Lestaluhu, Misna dan lain-lain.
Hilanglah sudah senyum tulus Larajak lelaki tinggi kurus yang selalu periang dan menyapaku ramah. Lenyaplah sudah wajah Husein Bulla yang santun. Oh, Tuhan kenapa jadi begini? Pertanyaan yang tidak terjawab selama kuajukan. Hanya kelam dan hitam legam yang balik menyergap. Aku tidak tahu.
Syukurlah dalam setiap kebingungan pasti hadir solusi. Aku kemudian diterima masuk bangku Madrasah Aliyah Negeri Tual. Aku bisa melanjutkan pendidikanku. Sementara itu pesan Kepala Sekolah Dasarku tempo hari terus mengiang-ngiang kembali di gendang telingaku. Aku harus bisa. Aku harus selesaikan pendidikan menegah atasku. Apapun yang terjadi. Dengan izin Tuhan tiga tahun berlalu aku juga berhasil meraih kelulusan dari sekolah Islam ini dengan selamat. Aku pulang kampung dengan membawa Ijazah tanda tamat belajar. Alhamdulillahi robbil’alamin.

MENCARI CINTA (PART 4)

MASA-MASA BAHAGIA

Inilah duniaku. Aku menikmatinya dengan segenap jiwa dan raga. Menyatu dengan laut dan darat di pulau Kur. Akulah bunga-bunga pohon Bintanggur pantai yang bersemi disaat musim barat tiba. Akulah asap-asap daun Kenari yang mengepul dari wajah-wajah bocah ceria yang asyik menggoda hari-hari. Akulah bunga-bunga liar yang kelopaknya menggelitik jiwa! Akulah ombak dan kole-kole mungil yang naik turun dihempas ombak karang yang garang. Akulah ketua barisan burung Pombo yang terbang dibawah angkasa biru pagi keemasan menuju laut lepas untuk bermetamorfosis menjadi ikan terbang. Akulah sejuta keindahan yang bersemai di bawah kolong langit. Di atas bumi nan indah permai bernama Ngurmaloos.
Tatkala musim berganti, maka Akulah makhluk yang selalu bermetamorfosis menjadi ciptaan-ciptaan Tuhan yang baru untuk terus berdialektika dengan zaman, terus menyesuaikan emosi dan jiwaku untuk tetap menyatu dengan alamku. Tapi saat itu, Aku tidak tahu untuk apa semua itu kulakukan. Aku belum bersentuhan dengan teori evolusinya Darwin yang spektakuler itu untuk kujadikan alasan. Yang ada di benak kecilku hanyalah agar Aku terus mengada, mem-being dan terus merealitas. Hidup adalah keceriaan, ibarat kelopak bunga matahari di pagi nan indah memantulkan warna kuning keemasan yang menghadirkan sejuta makna keindahan tertinggi miliki Allah Rabbul Izzati.
Hidup hanya melihat ke dalam diriku. Aku tidak perdulikan keadaan di luar, walau yang disebutkan sebagai sesuatu yang di luar itu adalah pakaian dan tempat tinggalku, rumahku, orang tuaku dan semuanya yang selalu berhubungan denganku. Tapi sama sekali ini bukan egois, bukan pula individualis. Aku sadar, aku hidup dengan membawa cinta paling hebat untuk merengkuh semua kehidupanku menjadi indah. Dan itu, terlaksana melalui dialektika multi hubungan baik dengan semua objek ciptaan Tuhan. Dengan manusia, hewan, tumbuhan maupun benda-benda mati. Aku jadi insan pemimpi yang selalu mengimpikan kebahagiaan dan keceriaan.
Masih terpatri diingatan, kala musim laut yang teduh. Permukaan laut Banda yang melingkupi hingga Pulau penghasil Kenari dan Pala ini akan tampak sebening pemukaan kaca yang licin. Apalagi diwaktu pagi hari dimana nuansa dunia terasa masih perawan ting ting belum dijamah tangan-tangan jahil perusak bumi. Keindahan kanak-kanak itu tidak ada duanya. Ibarat penghuni Taman Firdaus yang lengkap menikmati fasilitas surga. Batin anak kampung ingusan sepertiku hanya selalu ingin untuk menyelam, larut, tenggalam dan timbul untuk mengejar keceriaan. Kebahagiaan yang tidak akan terulang kedua kali dalam hidup.
Ketika perahu-perahu layar dari Seram, Gorom, Kesui, Teor atau pun dari Tayando dan Tam atau Mangur Fidol berlabuh di tanjung Belya Tutin, kami anak-anak kampung selalu berebutan dengan kole-kole kecil seukuran satu atau dua orang untuk bisa menggapai pipi perahu-perahu itu. Perahu layar itu Ibarat Pangeran tampan Khusrau yang berlabuh gagah di atas permukaan laut yang mengaca di pagi indah, maka kole-kole itu adalah gambaran Syirin si tuan putri Persia yang sangat molek dan cantik yang tidak tahan dengan hasratnya untuk segera menyentuh pipi sang pangeran. Dengan menyentuhnya kebahagiaan jadi utuh dan cinta jadi menyatu keindahan jadi lengkap dan lahirlah keceriaan. Inilah obsesi sepanjang hidup makhluk mungil bernama anak-anak kampung.
Dari atas tubuh perahu yang gagah, kami bisa memandang tembus ke dasar laut yang beraneka warna. Tampak terumbu-terumbu karang yang menyerupai payung-payung dalam film animasi Si Unyil. Ikan beraneka warna dan bentuk dan ukuran berlarian kesana kemari mengejar dan sesekali mematuk lumut dan plangton kecil di atas permukaan payung lautan yang tidak lain adalah terumbu karang itu menambah lagi daftar referensi keindahan yang aku pahami. Ternyata kehidupan di lautan sana juga menyimpan bergudang-gudang kecantikan. Pantaslah orang-orang bule itu suka menghabiskan waktu dengan rela memikul tabung-tabung oksigen menyamai seperdua tubuh mereka untuk menyelam dalam lautan. Pasti mereka juga selalu ingin untuk menyatu dengan keceriaan hidup. Bahagia!
Di waktu sore atau senja, aku dan teman-teman akan mendayung kole-kole itu melewati Fitlar, Wermasa, Keltif dan lalu mendarat di Fatsira dan atau di Tutin melewati Faut Kapuin untuk memuat buah Labu, Semangka dan Kelapa. Tapi itu hanya disaat keadaan laut sedang teduh. Perhitungannya kalau musim sedang dalam proses pancaroba. Sebab laut akan selicin kaca. Cuaca alam cerah ceria, dan dunia seperti dalam lukisan taman Firdaus dan Aden. Di saat seperti itu Aku paling suka merambah laut agar bisa menyaksikan ikan-ikan yang berlarian dibawah kole-kole. Melihat terumbu karang yang cantik memikat hati. Juga di saat seperti itu, daratan sepanjang Faut Kapuin hingga Fitlar akan diterpa cahaya kuning kemerahan matahari yang hendak menuju peraduan. Sebuah pemandangan klasik akan muncul, dan lukisan indah Tuhan menyemburat di atas kertas dunia yang bernama Pulau Kur. Begitu indah, menawan, elok, dan entah apalagi nama yang disebutkan untuk melambangkan rasaku. Aku tidak bisa menuliskannya secara utuh. Itulah waktu-waktu dimana keindahan dan keceriaan bersemi dalam bingkai kebahagiaan yang tidak mampu terlukiskan.
Masa kanak-kanak, masa indah penuh ceria. Aku menikmatinya dengan sepenuh hati hingga usiaku genap sepuluh tahun. Sebenarnya memasuki seperempat umurku waktu itu, ada unsur yang mulai berkurang dalam kelengkapan komponen kebahagiaan dan keceriaan kekanak-kanakanku, yaitu kembalinya Ibunda tercinta keharibaan Ilahi.
Ibu meninggal dunia, disaat aku masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Di saat-saat paling menentukan bagi seorang bocah sepertiku untuk memperoleh sokongan dan semangat dari manusia yang pernah mengandung dan melahirkanku ke dunia ini dengan taruhan nyawanya. Ia tidak sempat melihat secara utuh prestasi anaknya ini di sekolah yang selalu menyabet peringkat istimewa untuk tiap kali kenaikan kelas hingga lulus dengan nilai tertinggi untuk keseluruhan anak-anak SD di Pulau Kur.
Ibunda hanya sempat menikmati bahagia ceritaku waktu duduk di Kelas II SD Negeri Kilsoin yang waktu itu diminta oleh Guru Bahasa Indonesia Bapak Renhoran untuk membaca sebaris tulisan di papan tulis Kelas III yang berbunyi;
“ini Badu, Badu duduk disamping Ayah”.
Rupanya tulisan kalimat itu tidak bisa dibaca oleh sebagian anak-anak yang dalam hierarki ilmu merupakan kakak-kakak seniorku. Maka sebagai imbalannya Aku diberi mistar kayu panjang oleh guru tersebut dan kemudian menghajar anak-anak kelas III yang berotak bebal itu secara bergantian.
Ibuku tertawa mendengar kisahku dan menyemangatiku; “Belajar teruslah anakku!”
Kini, keindahan masa itu telah berlalu. Aku sudah dewasa, dan hanya bisa mengenangnya sebagai pengalaman terindah hidup yang pernah kujalani. Aku merindukan untuk terus menikmati hidup sebagai kanak-kanak, yang tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk kesulitan yang mendera. Sebuah dunia mimpi tetapi sesungguhnya pernah nyata dalam hidupku. Pernah menyentuh jiwaku! Masa dimana kembang aneka warna dan jenis mekar meliuk-liuk diterpa angin pagi bersama semilir angin sepoi yang bertiup dari ujung Faut Kapuin dan Tanjung Belya Tutin.
Tidak akan terulang lagi kisah itu. Dan hanya meninggalkan bekas kenikmatan yang selalu kukenang.

MENCARI CINTA (PART TRHEE)

NAMAKU MUHAMMAD SOBARUDDIN

Seperti sudah kukatakan, Aku adalah gumpalan kebingungan. Aku adalah wujud gelap dibalut misteri. Seingatku, aku dilahirkan di negeri yang konon dikatakan sebagai negeri awal pemancangan tiang ka’bah di bumi. Negeri sebagian waliyullah yang menyandang gelar wali ghaib penghuni dua bukit kembar yang kini diberi nama Makaraa dan Baluktufin.
Makaraa menurut bahasa artinya Makkah yang lama, dan Baluktufin artinya ujung persegi empat balok kayu yang melambangkan empat tingkatan pencarian kebenaran ilmu dalam ajaran dienul Islam yang dinamakan syari’at, tarekat, hakikat dan makrifat.
Pulau ini diberi nama Pulau Kur, kelengkapan atribut nama sebagai negeri suci yang melahirkan agama Muhammad Saw dalam pengertian sinonim atau harfiahnya. Kur adalah identik Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi orang-orang beriman. Orang-orang yang percaya kepada yang ghaib, yang mendirikkan shalat dan menafkahkan harta, tenaga, pikiran, jiwa dan raga mereka untuk menegakkan kebenaran Tuhan di bumi.
Inilah sebuah arti yang kurang lebih mengendap dalam memori ingatanku tentang sebagian definisi yang kelak mengantarkan langkah pencarianku menuju pengenalan siapa sesungguhnya aku. Aku yang terus bingung dan tidak tahu. Ibarat kata Imam Syafi’i semakin terus kucari arti sesuatu maka semakin aku tahu bahwa masih banyak yang belum aku tahu dari arti sesuatu itu. Itulah aku, aku yang makin tahu bahwa aku tidak tahu.
Di sini, masih di bawah Kel Pajamaran di kaki Saraib Halen dan Saraib Hafek. Di samping himpitan bebatuan raksasa. Aku melonjorkan kaki dan membiarkan mataku terkatup. Suasana alam yang hening sejuk nan sunyi pada senja hari. Di atas bebatuan cadas ditemani sebuah makam kuno seorang Waliyullah yang di masa hidupnya selalu menyemarakkan ibadah di sepenggal daerah yang dianggap sebagai tempat angker hunian makhluk-makhluk halus itu. Aku mulai mengingat tahapan demi tahapan yang aku lalui dalam sejarah hidupku. Pertanyaan yang selalu mengemuka; siapakah aku sebenarnya?
Aku dilahirkan pada hari Rabu, mengikuti hari kelahiran Nabi Nuh ‘alaihissalam, tepat pada tepi pertemuan dua waktu siang dan malam di Desa Ngurmaloos dari pasangan suami istri yang masih keturunan Sinen dan Leba Surein. Darah anak semata wayang Sinen bernama Boiratan dan suaminya Haji Muhammad Thaib Rumagorong mengalir dalam nadiku. Ayahku bernama Muhammad Bahrul Ulum, dan ibuku bernama Aisyah.
Aku titisan darah Haji Injil Karit yang disebut Haji Maninggal yang merupakan keturunan Qua, satu ketua kabilah yang menyimpan banyak kepeng dan harta benda kuno pada masanya. Nenekku Haji Muhammad Djen adalah penganut jalan Sufi yang bacaan Fatihahnya diakui kefasihan tajwid dan tartilnya oleh sang Syech di tanah Mekkah, dan oleh yang mulia Habib Alidrus ia menyuruh semua imam-imam kampung Kur untuk berguru Fatihah kepadanya. Neneknya Leba Surein adalah manusia aneh yang dikisahkan shalat di dua tempat dalam sekali waktu. Jika magrib ia dilihat rukuk sujud di Kampung Hirit, maka orang-orang di Ngurmaloos juga melihatnya sedang rukuk sujud pada waktu yang sama. Kebunnya di Weer Kelmurin yang dipenuhi pohon pinang adalah saksi bisu yang menjadi plesetan nama orang kepadanya; Leba Surein, Imam sableng alias sinting. Bukan lantaran ia tidak waras, tetapi karena kedapatan melakukan hal-hal yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai karomah atau kejadian-kejadian aneh di luar batas normal manusia biasa. Termasuk dalam kategori kejadian harriqun lil adat. Betapa tidak, untuk mengambil buah pinang pohon tinggi lurus bak tiang listrik itu tinggal digamit dengan tangannya, dan saat itu juga pohon itu condong ke arahnya dan ia tinggal memetik buahnya sesuka hati.
Nenek moyangku adalah orang-orang yang memegang teguh prinsip agama dan kehormatan hidup sebagai orang Islam yang beradat beraturan.
Haji Injil buyutku itu adalah satu-satunya orang Kur yang sukses berhaji ke Tanah Suci dengan membawa nenekku yang kala itu masih berusia belia di tahun 1800-an. Di sana, di bumi Allah yang suci Mekkah Al Mukarromah buyut dan nenek telah berdo’a! Do’a sebagaimana Nabi terkasih Allah Ibrahim dan Ismail alaihissalat wassalam berdo’a; agar anak cucu mereka kelak diberikan kekuatan untuk selalu taat di jalan-Nya. Satu hal paling istimewa; buyut ternyata pergi haji terus untuk selamanya. Ia tidak kembali lagi ke Kur. Ia sudah menemukan inti dari segenap pencarian, dan ia telah kembali ke hadirat Kekasih alam raya, Allah Swt. Ia dikebumikan di pemakaman Baqi Kota Suci. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Orang tuaku menamaiku Muhammad Sobaruddin disingkat jadi Sobar, yang diambil dari kalimat Arab yang berarti orang sabar dalam beragama dan terpuji. Sebuah nama yang diharapkan dapat menaungi pemiliknya agar selalu bersabar dalam menghadapi penderitaan dan ujian hidup. Selalu berakhlak terpuji. Bagaimana pun sebuah harapan keimanan kepada Tuhan mengemuka dan ikut andil dalam mempengaruhi penyematan nama itu ke pundakku. Sobar….wallahu ma’asshaabiriien, dan Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Begitu kira-kira doktrin keilahian yang menjadi pegangan orang tua, tete nenek dan semua paman bibiku yang menyaksikan bayi mungil kemerahan tanpa nama dan busana lahir dari rahim wanita yang setelah itu kuakui sebagai ibundaku!
Yah aku Sobar, aku lahir dari rahim bunda melewati tahapan kegelapan demi kegelapan. Dari alam roh yang tinggi hingga menyamai wujud di alam penampakan yang dinamakan alam jisim atau alam ajsam dalam bentuk jamaknya. Aku lahir dengan membawa segudang kesibukan buat dua makhluk bernama ayah bunda! Mereka sudah rela menerima resiko merawat dan memeliharaku hingga mencapai usia Balita, anak-anak, remaja dan dewasa. Aku lahir dengan mewarisi segudang kelemahan, dan yang paling ekstrim dari segenap kelemahan itu adalah ketidaktahuanku tentang diriku sendiri. Aku merasa bahwa ayah bundaku, namaku Sobar dan berbagai atribut yang disematkan di pundakku dan juga kepada orang-orang lain dan alam sekitarku sekarang ini hanyalah sesuatu yang baru dan tidak asli. Hanya sematan, yang sementara sifatnya. Namun ada satu pertanyaan yang tidak henti-hentinya mengusik diriku adalah kenapa perasaan ini memendam rasa “cinta”, apakah arti kata ini? Apakah ia sama dengan arti langit yang melahirkan kebingungan? Wah rasanya cinta lebih berat lagi untuk aku definisikan, karena ia melekat di sini, di dalam diriku tapi aku tidak tahu apa warna dan bentuknya!
Mataku makin terkatup dan semua konsentrasi kubiarkan mengembara tanpa arah. Lha, memang di dunia pikiran dan rasa itu tidak ada arah yang bisa dipakai buat mengukur tinggi rendah, atau memilah warna hijau, merah, kuning jingga dan seterusnya. Yang ada hanya kebingungan, ketidaktahuan. Tapi aku percaya aku ada, cinta ada, dan semua ada karena aku merasakannya. Rasa tetapi bingung dan tidak tahu bagaimana aku menuturkannya pada semua orang, termasuk diriku sendiri. Disinilah jawaban terakhir itu selalu muncul, cinta adalah ketidaktahuan.
Terkadang aku biarkan sukmaku mengembara liar kemana-mana tanpa pemandu. Kubiarkan ia melompat, menukik, memanjat, menelantang, jongkok, jatuh bangun dan mengintip setiap sudut dan ruang yang bisa kupahami, untuk mencari apa itu cinta. Pada sudut-sudut ruangan yang menghimpun dua insan beda jenis kelamin suami istri lalu memperhatikan adegan demi adegan mulai dari yang biasa hingga yang luar biasa, dari sekedar cumbu rayu hingga pencapaian titik klimaks orgasme, lalu pada janin yang mengendap di dasar rahim sang bunda hingga siap lahir bersama ketuban ke alam dunia.
Aku terus menguntit makna cinta dan mencari wujudnya di sana. Pada rintihan pertama bayi “aaa” dan “iii” hingga “uuu”. Aku selektif memandangi wajah tiga insan, bayi, bunda dan ayah lalu menghubungkan garis linear tiga hati ibu ayah dan anak itu dalam satu teropong untuk mencari warna cinta. Pada wajah ayah yang menunggu kelahiran sang bayi dengan harap cemas. Pada wajah ibu yang lemas terkulai seusai melahirkan. Pada bayi yang menangis dan menjerit. Tapi apakah cinta? Untuk ibunda mungkin bisa dimaknai dengan rasa. Begitu pula untuk ayah. Tetapi untuk bayi? Dari mana aku mengukur bahwa bayi punya rasa cinta? Seperti apakah itu? Aku tidak tahu! Aku tidak paham! Aku bingung.
Aku harus kembali ke Ngur Maloos. Kuturuni lembah bebatuan cadas dan terjal di Kaki Saraib Halen, lalu tergopoh-gopoh berjalan menyusuri jalan raya selebar satu hasta orang dewasa dan terus berjalan menungging gelap malam berpacu sisa-sisa sinar mentari di ufuk barat yang masih berpendar.
Permukaan laut menghampar bagai kaca raksasa! Beberapa nelayan kampung sedang mendayung kole-kole mereka dengan tidak jemu! Mereka mengejar rizki di laut lepas dengan menyungging senyum beradu dengan gelapnya malam yang menenggelamkan wujud mereka dalam gulita! Subhanallah.

MENCARI CINTA (PART TWO)

AKU ADALAH KEBINGUNGAN


Aku tidak tahu siapa nama asliku dan siapa sesungguhnya nama asli kedua orang tuaku yang sebenarnya. Karena Aku baru menghirup udara dunia ini setelah mereka lahir terlebih dahulu. Sebelumnya Aku tidak tahu, apa, siapa, dimana, mengapa dan bagaimana Aku yang sesungguhnya. Aku datang dari kegelapan melewati tiga lapis kegelapan dan pemahamanku buta tentang makna dan arti kehidupan. Aku hanyalah sekelumit debu yang membaur dalam dunia yang luas tak bertepi. Namaku Muhammad Sobaruddin disapa Sobar, adalah sebuah pemberian orang tuaku! Aku yakin itu bukan namaku yang asli, karena nama itu baru disematkan ke pundakku setelah tujuh hari aku mereguk udara bumi ini. Aku lahir tanpa nama. Namun satu yang aku percaya adalah bahwa Aku lahir sebagai manusia. Tapi siapakah manusia? Aku tidak tahu.
Tatkala kupandangi angkasa raya, mataku disilaukan dengan semburat tajam cahaya mentari yang menyerang retinaku tanpa ampun. Aku silau, dan bertambah bingung memaknai langit. Ia kah mentari itu? Ia kah mega aneka warna itu? Ia kah deretan burung camar yang terbang tinggi itu? Ia kah sebongkah besi yang menderu menabrak gumpalan-gumpalan mega itu? Aku tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu hanyalah bahwa memang aku tidak tahu.
Tatkala malam tiba, aku juga ingin menguji kembali hipotesisku diwaktu siang tentang arti langit. Kenapa kini ia berwarna hitam pekat? Manakah langit itu? Ia kah bintang gemintang yang bertaburan laksana mutiara tercecer di angkasa raya di sana? Ia kah bintang kemukus di sana? Atukah ia yang dinamakan rembulan. Tapi kenapa rembulan sendiri selalu berubah, dari bentuk pelepah kering, menanjak jadi sabit, setengah bola kempes, membulat setengah jadi hingga sempurna lingkarannya pada malam empat belas hari, lalu kembali lagi ke tahap awal dan akhirnya hilang ditelan gulita malam meninggalkan pernak pernik kemilau langit berhias paduan cahaya gemintang. Manakah langit? Aku semakin sadar dengan pengetahuanku bahwa memang aku tidak tahu.
Kali ini, aku harus merelakan waktuku untuk pergi menatap laut. Di sana, di pantai Faut Kapuin, dibawah kaki Kel Saraib. Tepat pukul setengah enam senja. Di kala petani-petani kampung sudah balik dari mengurus sawah dan kebun. Aku memilih mengambil jalan pantai melewati bebatuan yang terjal, cadas dan berduri. Aku ingin agar tidak ada seorang pun yang ikut denganku dan menyaksikan kebingunganku dalam mencari definisi dan arti serta hakikat langit. Sebab pada matahari serta rembulan tidak kutemukan arti langit itu. Pada mega biru dan carut marut warna gelap angkasa malam, barisan dan gugusan bintang sampai pada hempasan meteor yang menggaris langit bertambah seru sebagai lambang laknat penduduk langit mengusir simakhluk durjana bernama Izzazil Iblis laknatullah’alaihi, satu pun tidak mewakili arti langit secara utuh.
Aku tidak melihat arti langit itu di sana, selain kebingunganku. Yah! Barangkali langit itu adalah ketidaktahuan. Justru itu, semakin didekati semakin bertambah tidak tahu. Semakin didalami semakin jauh dasar semudra makna yang hendak disentuh. Langit adalah misteri. Itulah kesimpulanku pada kali ketiga. Di pantai Faut Kapuin di bawah kaki Saraib.
Aku berputus asa dengan pengalaman mencari arti langit. Ku ulurkan kedua kakiku di atas kerikir-kerikil putih yang berserakan di pantai dan membiarkan paru-paruku terus menghirup masuk keluar oksigen sebanyak-banyaknya. Sebuah proses yang tidak kusadari, tetapi terus berjalan mengikuti sebuah irama misteri alam gaib. Apakah arti langit? Langit itu adalah lapisan demi lapisan kebingungan yang harus ditundukkan dengan penyerahan diri. Pasrah dan larut dalam zikir dan ibadah kepada Tuhan. Inilah kesimpulan arti langit setelah jatuh bangun aku berusaha mencari definisinya yang pas menurut pemahamanku.