Rabu, 17 Februari 2010

MENCARI CINTA (PART 5)

ANAK MALU TANGGUNG RUGI

“Hidup adalah perjuangan. Dan setiap perjuangan butuh pengorbanan. Kalian harus bisa menunjukkan bahwa anak-anak dari kampung dan desa-desa pulau terpencil seperti kita juga bisa melakukan hal-hal besar dan luar biasa. Untuk itu kalian harus bertekad untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalian harus terus sekolah. Kalian harus lanjut.”
Anak-anak kelas VI SD Negeri Kilsoin duduk terpaku di kursi masing-masing. Tidak ada satupun yang berani berbisik dan mengeluarkan suara. Alam serasa sunyi sepi. Dan kami semua sementara ditampung di dalam ruang sepi itu tanpa berdaya. Masing-masing telinga berdiri bak radar penangkap sinyal yang merekam seluruh pembicaraan Bapak Kepala Sekolah Johanis Samderubun tanpa tertinggal koma, tanda petik, tanda seru, tanda tanya hingga titiknya. Semua pasti tahu, semua pasti mengerti. Karena orang tua itu berbicara dengan sangat jelas dan terang.
“Anak-anakku! Tahukah kalian bahwa Soeharto presiden kita sekarang adalah anak seorang petani dari desa Kemusuk. Masa kecilnya jadi gembala kerbau dan karena ulet dan bersemangat untuk belajar, maka tekadnya itu mengantarkan dia menjadi manusia besar yang menjadi pemimpin bangsa ini”
“Kalian juga pasti bisa anak-anakku! Kalian harus bisa menjadi manusia. Bisa menjadi dokter agar ke depan bisa mengobati orang-orang kita yang sakit di sini. Kalian harus bisa menjadi Polisi, Tentara, Guru, bekerja di kantor dan seterusnya. Kalian harus bisa tunjukkan kepada orang Indonesia lain pada umumnya bahwa kita orang Kei dan orang Kur juga bisa! Harus ada diantara kalian yang bisa makan gaji Pemerintah!”
Aku putar leherku ke kanan, kiri dan mengamati satu persatu wajah-wajah yang ada di dalam kelasku. Mereka semuanya sedang serius mengikuti pembicaraan Kepala Sekolah. Tangan dilipat rapi di atas meja. Tatapan lurus ke depan. Mulut terkunci rapat dan semua sudah larut mernyatu dengan tema pembicaraan penting ini. Ibarat mereka adalah gula sudah lebur dan hilang wujud karena sudah larut dalam air. Tema pembicaraan itu adalah airnya!
Itulah kenangan paling indah. Saat bunga-bunga kehidupan menawarkan persahabatan dengan ramah kepada dunia. Aku pandangi fotoku sebelum masuk sekolah dulu. Ah, rasanya sudah berbeda jauh dengan fotoku yang sekarang. Sebentar lagi aku harus jatuh bangun mencari jalan untuk mewujudkan impian orang tuaku. Lulus dengan nilai terbaik dan bisa lanjut sekolah. Aku harus dapat merealisasikan pesan dan nasehat Kepala Sekolah. Harus!! Harus!! Tidak boleh tidak!
Tanggal ujian pun sudah ditentukan. Persiapan hebat tengah digelar. Semua keluarga patungan mengumpulkan dana dan bekal. Kue berbagai jenis dan ukuran mulai disiapkan. Kambing jantan ukuran empat ratus lima ratus ribu mulai ditambat di pohon kelapa di samping rumah. Beras 50 kg dua tiga karung sudah didudukkan dalam rumah. Orang sekampung mulai sibuk, ada yang bawa limya buah pisang satu sisir, minyak kelapa satu botol, kayu bakar satu ikat, uang sesen dua sen rupiah buat tambah-tambah bayar utang atau beli kopi gula dan keperluan dalam ujian nanti.
Tinggal menghitung hari. Pesta besar bernama Ebtanas atau evaluasi belajar tahap akhir nasional sudah menunggu dengan dentuman lagu dangdut dan irama lagu Minangkabau sudah mendayu-dayu, onde’lamanyo ko la sara bi sarabi…onde’lamanyo ko la sarabi sarabi!! Yah, itu irama lagu Fetty dan Asben yang sudah merambah di negeriku dan hampir dihapal ratusan anak-anak kampung dengan Tep merek Sikko butut berbaterei enam atau delapan milik abang-abang atau om-om yang biasanya pulang merantau dari Irian Jaya (sekarang Papaua) dan Ambon.
Inilah dia pesta besar-besaran sebagai bentuk rasa syukur yang salah alamat kalau tidak dikatakan sebagi perbuatan mubazir jika anak-anak sedang mengikuti ujian akhir sekolah dasar pada masaku. Warga mulai dari Desa Kaimear di pulau paling utara Kur sambung menyambung ke pulau ibu Lokwirin, Finualen, Tubyal, Sermaf, Kanara, Warkar, Yapas, Rumoin, Fitarlor, Ngurmaloos, Hirit sampai tiga kampung Tiflen, Niela dan Fidol di dua pulau paling ujung di selatan Kur yaitu Mangur Fadol akan berkumpul di kampung Sermaf untuk merayakan pesta ulang tahun Ebtanas. Terpampang spanduk di jalan masuk kampung SELAMAT DATANG PESERTA EBTANAS. Tapi sayangnya engkau muncul dengan membawa segudang hutang. Batinku menggerutu ketika membacanya!!
Betapa bergengsinya pesta ini dirancang, sehingga esensi acara ujian nasional murid sekolahnya lebur dalam hingar bingar suara musik yang mendayu-dayu. Dari salon-salon raksasa yang memecahkan gendang telinga. Dimana hentakan kaki-kaki maju mundur merontokkan esensi lembar demi lembar halaman ilmu yang didapatkan di sekolah. Aku saksikan dengan mata kepalaku. Teman-teman yang sempat turun lapangan untuk berjoget ria setelah paginya harus masuk kelas untuk ikut ujian. Sebuah praktek ujian yang ganjil. Bukannya malam hari belajar keras untuk bertempur dengan soal keesokan harinya malah ikut berjoget ria. Gila!!
Mereka yakin dengan servis terbaik orang tua murid kepada guru-guru dan pengawas ujian yang datang dari Tual. Nilai ujian pasti istimewa dan paling tidak lulus saja. Persoalan mati hutang setelah ujian itu urusan belakangan. Yang penting anak ujian bisa diantar dengan deretan kue aneka warna, bau, bentuk dan cita rasa. Ada kue bolu, kue lontar, kue kering beragam bentuk, kue basah, kue tar dan macam-macam nama yang tidak perlu dihitung.
Nilai ilmu dalam ujian malah bergeser kepada persaingan pamer bentuk kue dan cita rasa masakan. Siapa yang suguhan daging kambingnya memenuhi isi piring dewan guru dan pengawas? Siapa yang atlutak -nya ditaruh antero memenuhi dalam piring kepala-kepala desa? Siapa dan siapa? Pemberi service atau layanan terbaik akan memperoleh nilai terbaik! Aku tidak tahu untuk apa penilaian model ini? Apakah hanya sekedar muslihat dari guru tertentu dan pimpinan kampung untuk terus menerus melanggengkan praktek ujian model ini biar tiap tahun harus ada pesta makan minum dalam jumlah besar? Wallahu a’lam. Aku tidak tahu! Aku tidak paham sampai hari ini! Yang jelas, ujian SD ini hampir dua kali lipat lebih meriah dan mahal dari pada acara Wisuda Sarjana di Perguruan Tinggi.
Tahukah saudara, ternyata praktek mubazir seperti inilah yang kelak membuat anak-anak di Pulau Kur ini tidak bisa melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena setiap selesai ujian orang tua murid langsung mati dililit utang piutang. Ujian murid SD berubah menjadi ajang untuk melilit leher para orang tua dengan tali utang. Begitu ujian usai, orang tua murid ini tinggal menuruti tali kekang yang melilit tenggorokan menuju tempat penyembelihan. Jatuh bangun bayar utang. Sadis memang!
Orang tua nekat menggadai dusun dan tanaman bukan untuk kelanjutan pendidikan si anak, tetapi justru untuk membiayai Ebtanas yang tidak terakomodir dalam aturan kurikulum itu. Ini aturan siapa? Kenapa tidak ada yang menggugatnya? Ah, orang kapung! Taunya hanya terima nasib tidak bisa protes. Apalagi berontak! Bisa-bisa dicap Komunis seumur hidup!
Apakah orang-orang ini pernah berpikir tentang tindakan bodoh ini? Bahwa andaikan biaya dan benda yang ada dikumpulkan untuk pendidikan lanjutan anak-anak pasti lebih memadai? Lebih dari satu tahun atau bahkan mungkin dua tahun dan tiga tahun sekaligus. Berarti biaya untuk dapat masuk ke SMP sudah dipakai habis untuk menyukseskan pesta foya-foya itu? Ya Tuhan!
Aku bersyukur kepada Tuhan, karena disamping lulus dengan nilai terbaik aku bisa melanjutkan pendidikanku pasca ujian tersebut tanpa sempat mengalami makhluk busuk bernama pengangguran. Dengan jatuh bangun aku merajut benang harapan itu diawali dari bangku Madrasah Tsanawiyah Ambon, SMP Alhilal Lokwirin hingga tamat di Madrasah Tsanawiyah Swasta Makara Pulau Kur. Dengan susah payah menanggung beban. Tapi aku berusaha dekat dengan Tuhan. Aku punya do’a! aku punya Dia yang punya segalanya. Keyakinanku bersemai kuat dan mengantarkan langkahku selamat menapaki kerikil-kerikil berduri dan meraih garis finish dengan seulas senyum bahagia. Lulus ujian Sekolah Menengah Pertama.
Tapi bagaimana nasib selanjutnya? Apakah aku bisa sekolah lanjutan atas di Tual? Ambon? Papua? Dari mana biayanya? Dengan apa aku ongkosi studiku? Jadi misteri. Gelap dan hitam pekat tidak terjawab!!
Pertanyaan yang membuatku kembang kempis. Aku adalah anak kampung. Pengalaman merantau tidak ada. Sekali aku keluar daerah yaitu ketika bertepatan lulus ujian dan melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Ambon. Tapi itu sudah empat tahun lalu. Lagi pula waktu itu aku masih seperti rusa masuk kampung. Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak kota belum seberapa. Karena hanya satu tahun aku harus pulang kampung karena konflik keluarga antara ayah dengan keluarga ibu. Pamanku yang adalah saudara ibu memulangkan aku ke kampung. Tamatlah riwayat pergaulanku dengan teman-teman beragam etnis di Ambon. Dengan Husein Bulla, Larajak, Arsad Wally, Wahyuni Ohorella, Saripa, Abdul Gafar Lestaluhu, Misna dan lain-lain.
Hilanglah sudah senyum tulus Larajak lelaki tinggi kurus yang selalu periang dan menyapaku ramah. Lenyaplah sudah wajah Husein Bulla yang santun. Oh, Tuhan kenapa jadi begini? Pertanyaan yang tidak terjawab selama kuajukan. Hanya kelam dan hitam legam yang balik menyergap. Aku tidak tahu.
Syukurlah dalam setiap kebingungan pasti hadir solusi. Aku kemudian diterima masuk bangku Madrasah Aliyah Negeri Tual. Aku bisa melanjutkan pendidikanku. Sementara itu pesan Kepala Sekolah Dasarku tempo hari terus mengiang-ngiang kembali di gendang telingaku. Aku harus bisa. Aku harus selesaikan pendidikan menegah atasku. Apapun yang terjadi. Dengan izin Tuhan tiga tahun berlalu aku juga berhasil meraih kelulusan dari sekolah Islam ini dengan selamat. Aku pulang kampung dengan membawa Ijazah tanda tamat belajar. Alhamdulillahi robbil’alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar