MASA-MASA BAHAGIA
Inilah duniaku. Aku menikmatinya dengan segenap jiwa dan raga. Menyatu dengan laut dan darat di pulau Kur. Akulah bunga-bunga pohon Bintanggur pantai yang bersemi disaat musim barat tiba. Akulah asap-asap daun Kenari yang mengepul dari wajah-wajah bocah ceria yang asyik menggoda hari-hari. Akulah bunga-bunga liar yang kelopaknya menggelitik jiwa! Akulah ombak dan kole-kole mungil yang naik turun dihempas ombak karang yang garang. Akulah ketua barisan burung Pombo yang terbang dibawah angkasa biru pagi keemasan menuju laut lepas untuk bermetamorfosis menjadi ikan terbang. Akulah sejuta keindahan yang bersemai di bawah kolong langit. Di atas bumi nan indah permai bernama Ngurmaloos.
Tatkala musim berganti, maka Akulah makhluk yang selalu bermetamorfosis menjadi ciptaan-ciptaan Tuhan yang baru untuk terus berdialektika dengan zaman, terus menyesuaikan emosi dan jiwaku untuk tetap menyatu dengan alamku. Tapi saat itu, Aku tidak tahu untuk apa semua itu kulakukan. Aku belum bersentuhan dengan teori evolusinya Darwin yang spektakuler itu untuk kujadikan alasan. Yang ada di benak kecilku hanyalah agar Aku terus mengada, mem-being dan terus merealitas. Hidup adalah keceriaan, ibarat kelopak bunga matahari di pagi nan indah memantulkan warna kuning keemasan yang menghadirkan sejuta makna keindahan tertinggi miliki Allah Rabbul Izzati.
Hidup hanya melihat ke dalam diriku. Aku tidak perdulikan keadaan di luar, walau yang disebutkan sebagai sesuatu yang di luar itu adalah pakaian dan tempat tinggalku, rumahku, orang tuaku dan semuanya yang selalu berhubungan denganku. Tapi sama sekali ini bukan egois, bukan pula individualis. Aku sadar, aku hidup dengan membawa cinta paling hebat untuk merengkuh semua kehidupanku menjadi indah. Dan itu, terlaksana melalui dialektika multi hubungan baik dengan semua objek ciptaan Tuhan. Dengan manusia, hewan, tumbuhan maupun benda-benda mati. Aku jadi insan pemimpi yang selalu mengimpikan kebahagiaan dan keceriaan.
Masih terpatri diingatan, kala musim laut yang teduh. Permukaan laut Banda yang melingkupi hingga Pulau penghasil Kenari dan Pala ini akan tampak sebening pemukaan kaca yang licin. Apalagi diwaktu pagi hari dimana nuansa dunia terasa masih perawan ting ting belum dijamah tangan-tangan jahil perusak bumi. Keindahan kanak-kanak itu tidak ada duanya. Ibarat penghuni Taman Firdaus yang lengkap menikmati fasilitas surga. Batin anak kampung ingusan sepertiku hanya selalu ingin untuk menyelam, larut, tenggalam dan timbul untuk mengejar keceriaan. Kebahagiaan yang tidak akan terulang kedua kali dalam hidup.
Ketika perahu-perahu layar dari Seram, Gorom, Kesui, Teor atau pun dari Tayando dan Tam atau Mangur Fidol berlabuh di tanjung Belya Tutin, kami anak-anak kampung selalu berebutan dengan kole-kole kecil seukuran satu atau dua orang untuk bisa menggapai pipi perahu-perahu itu. Perahu layar itu Ibarat Pangeran tampan Khusrau yang berlabuh gagah di atas permukaan laut yang mengaca di pagi indah, maka kole-kole itu adalah gambaran Syirin si tuan putri Persia yang sangat molek dan cantik yang tidak tahan dengan hasratnya untuk segera menyentuh pipi sang pangeran. Dengan menyentuhnya kebahagiaan jadi utuh dan cinta jadi menyatu keindahan jadi lengkap dan lahirlah keceriaan. Inilah obsesi sepanjang hidup makhluk mungil bernama anak-anak kampung.
Dari atas tubuh perahu yang gagah, kami bisa memandang tembus ke dasar laut yang beraneka warna. Tampak terumbu-terumbu karang yang menyerupai payung-payung dalam film animasi Si Unyil. Ikan beraneka warna dan bentuk dan ukuran berlarian kesana kemari mengejar dan sesekali mematuk lumut dan plangton kecil di atas permukaan payung lautan yang tidak lain adalah terumbu karang itu menambah lagi daftar referensi keindahan yang aku pahami. Ternyata kehidupan di lautan sana juga menyimpan bergudang-gudang kecantikan. Pantaslah orang-orang bule itu suka menghabiskan waktu dengan rela memikul tabung-tabung oksigen menyamai seperdua tubuh mereka untuk menyelam dalam lautan. Pasti mereka juga selalu ingin untuk menyatu dengan keceriaan hidup. Bahagia!
Di waktu sore atau senja, aku dan teman-teman akan mendayung kole-kole itu melewati Fitlar, Wermasa, Keltif dan lalu mendarat di Fatsira dan atau di Tutin melewati Faut Kapuin untuk memuat buah Labu, Semangka dan Kelapa. Tapi itu hanya disaat keadaan laut sedang teduh. Perhitungannya kalau musim sedang dalam proses pancaroba. Sebab laut akan selicin kaca. Cuaca alam cerah ceria, dan dunia seperti dalam lukisan taman Firdaus dan Aden. Di saat seperti itu Aku paling suka merambah laut agar bisa menyaksikan ikan-ikan yang berlarian dibawah kole-kole. Melihat terumbu karang yang cantik memikat hati. Juga di saat seperti itu, daratan sepanjang Faut Kapuin hingga Fitlar akan diterpa cahaya kuning kemerahan matahari yang hendak menuju peraduan. Sebuah pemandangan klasik akan muncul, dan lukisan indah Tuhan menyemburat di atas kertas dunia yang bernama Pulau Kur. Begitu indah, menawan, elok, dan entah apalagi nama yang disebutkan untuk melambangkan rasaku. Aku tidak bisa menuliskannya secara utuh. Itulah waktu-waktu dimana keindahan dan keceriaan bersemi dalam bingkai kebahagiaan yang tidak mampu terlukiskan.
Masa kanak-kanak, masa indah penuh ceria. Aku menikmatinya dengan sepenuh hati hingga usiaku genap sepuluh tahun. Sebenarnya memasuki seperempat umurku waktu itu, ada unsur yang mulai berkurang dalam kelengkapan komponen kebahagiaan dan keceriaan kekanak-kanakanku, yaitu kembalinya Ibunda tercinta keharibaan Ilahi.
Ibu meninggal dunia, disaat aku masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Di saat-saat paling menentukan bagi seorang bocah sepertiku untuk memperoleh sokongan dan semangat dari manusia yang pernah mengandung dan melahirkanku ke dunia ini dengan taruhan nyawanya. Ia tidak sempat melihat secara utuh prestasi anaknya ini di sekolah yang selalu menyabet peringkat istimewa untuk tiap kali kenaikan kelas hingga lulus dengan nilai tertinggi untuk keseluruhan anak-anak SD di Pulau Kur.
Ibunda hanya sempat menikmati bahagia ceritaku waktu duduk di Kelas II SD Negeri Kilsoin yang waktu itu diminta oleh Guru Bahasa Indonesia Bapak Renhoran untuk membaca sebaris tulisan di papan tulis Kelas III yang berbunyi;
“ini Badu, Badu duduk disamping Ayah”.
Rupanya tulisan kalimat itu tidak bisa dibaca oleh sebagian anak-anak yang dalam hierarki ilmu merupakan kakak-kakak seniorku. Maka sebagai imbalannya Aku diberi mistar kayu panjang oleh guru tersebut dan kemudian menghajar anak-anak kelas III yang berotak bebal itu secara bergantian.
Ibuku tertawa mendengar kisahku dan menyemangatiku; “Belajar teruslah anakku!”
Kini, keindahan masa itu telah berlalu. Aku sudah dewasa, dan hanya bisa mengenangnya sebagai pengalaman terindah hidup yang pernah kujalani. Aku merindukan untuk terus menikmati hidup sebagai kanak-kanak, yang tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk kesulitan yang mendera. Sebuah dunia mimpi tetapi sesungguhnya pernah nyata dalam hidupku. Pernah menyentuh jiwaku! Masa dimana kembang aneka warna dan jenis mekar meliuk-liuk diterpa angin pagi bersama semilir angin sepoi yang bertiup dari ujung Faut Kapuin dan Tanjung Belya Tutin.
Tidak akan terulang lagi kisah itu. Dan hanya meninggalkan bekas kenikmatan yang selalu kukenang.
Rabu, 17 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar