AKU ADALAH KEBINGUNGAN
Aku tidak tahu siapa nama asliku dan siapa sesungguhnya nama asli kedua orang tuaku yang sebenarnya. Karena Aku baru menghirup udara dunia ini setelah mereka lahir terlebih dahulu. Sebelumnya Aku tidak tahu, apa, siapa, dimana, mengapa dan bagaimana Aku yang sesungguhnya. Aku datang dari kegelapan melewati tiga lapis kegelapan dan pemahamanku buta tentang makna dan arti kehidupan. Aku hanyalah sekelumit debu yang membaur dalam dunia yang luas tak bertepi. Namaku Muhammad Sobaruddin disapa Sobar, adalah sebuah pemberian orang tuaku! Aku yakin itu bukan namaku yang asli, karena nama itu baru disematkan ke pundakku setelah tujuh hari aku mereguk udara bumi ini. Aku lahir tanpa nama. Namun satu yang aku percaya adalah bahwa Aku lahir sebagai manusia. Tapi siapakah manusia? Aku tidak tahu.
Tatkala kupandangi angkasa raya, mataku disilaukan dengan semburat tajam cahaya mentari yang menyerang retinaku tanpa ampun. Aku silau, dan bertambah bingung memaknai langit. Ia kah mentari itu? Ia kah mega aneka warna itu? Ia kah deretan burung camar yang terbang tinggi itu? Ia kah sebongkah besi yang menderu menabrak gumpalan-gumpalan mega itu? Aku tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu hanyalah bahwa memang aku tidak tahu.
Tatkala malam tiba, aku juga ingin menguji kembali hipotesisku diwaktu siang tentang arti langit. Kenapa kini ia berwarna hitam pekat? Manakah langit itu? Ia kah bintang gemintang yang bertaburan laksana mutiara tercecer di angkasa raya di sana? Ia kah bintang kemukus di sana? Atukah ia yang dinamakan rembulan. Tapi kenapa rembulan sendiri selalu berubah, dari bentuk pelepah kering, menanjak jadi sabit, setengah bola kempes, membulat setengah jadi hingga sempurna lingkarannya pada malam empat belas hari, lalu kembali lagi ke tahap awal dan akhirnya hilang ditelan gulita malam meninggalkan pernak pernik kemilau langit berhias paduan cahaya gemintang. Manakah langit? Aku semakin sadar dengan pengetahuanku bahwa memang aku tidak tahu.
Kali ini, aku harus merelakan waktuku untuk pergi menatap laut. Di sana, di pantai Faut Kapuin, dibawah kaki Kel Saraib. Tepat pukul setengah enam senja. Di kala petani-petani kampung sudah balik dari mengurus sawah dan kebun. Aku memilih mengambil jalan pantai melewati bebatuan yang terjal, cadas dan berduri. Aku ingin agar tidak ada seorang pun yang ikut denganku dan menyaksikan kebingunganku dalam mencari definisi dan arti serta hakikat langit. Sebab pada matahari serta rembulan tidak kutemukan arti langit itu. Pada mega biru dan carut marut warna gelap angkasa malam, barisan dan gugusan bintang sampai pada hempasan meteor yang menggaris langit bertambah seru sebagai lambang laknat penduduk langit mengusir simakhluk durjana bernama Izzazil Iblis laknatullah’alaihi, satu pun tidak mewakili arti langit secara utuh.
Aku tidak melihat arti langit itu di sana, selain kebingunganku. Yah! Barangkali langit itu adalah ketidaktahuan. Justru itu, semakin didekati semakin bertambah tidak tahu. Semakin didalami semakin jauh dasar semudra makna yang hendak disentuh. Langit adalah misteri. Itulah kesimpulanku pada kali ketiga. Di pantai Faut Kapuin di bawah kaki Saraib.
Aku berputus asa dengan pengalaman mencari arti langit. Ku ulurkan kedua kakiku di atas kerikir-kerikil putih yang berserakan di pantai dan membiarkan paru-paruku terus menghirup masuk keluar oksigen sebanyak-banyaknya. Sebuah proses yang tidak kusadari, tetapi terus berjalan mengikuti sebuah irama misteri alam gaib. Apakah arti langit? Langit itu adalah lapisan demi lapisan kebingungan yang harus ditundukkan dengan penyerahan diri. Pasrah dan larut dalam zikir dan ibadah kepada Tuhan. Inilah kesimpulan arti langit setelah jatuh bangun aku berusaha mencari definisinya yang pas menurut pemahamanku.
Rabu, 17 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar