DR. Arifin Rada,SH. MH.
Di awal tahun 2009 lahirlah sebuah Novel dari seorang anak negeri yang berdiam di suatu wilayah yang jauh dari tradisi berkarya seni. Maksud utamanya tentulah hendak menciptakan tradisi peduli Novel. Ini adalah suatu hal yang patut dihargai dan secara pribadi saya memberikan apresiasi kepada saudara Syahril.
Saudara Syahril sebagai penulis novel adalah potret dari seorang anak negeri yang berkemauan keras menggapai cita-cita. Secara pribadi saya mengenalnya saat masih aktif di bangku kuliah dan masih menjadi wartawan. Disaat itu ia terbilang sangat kreatif di berbagai bidang. Bahkan seingat saya, dirinya sudah menjadi asisten dosen dan ditawarkan menjadi Dosen di almamaternya, tapi rupanya ia berpikir lain, harus pulang ke tanah kelahirannya di Kei Maluku Tenggara.
Novel yang berada dihadapan Anda ini adalah potret kegigihannya dalam upaya tak kenal lelah untuk dapat meningkatkan kemampuan menulisnya. Baik tulisan yang ada di novel ini maupun tulisan-tulisan lain yang berserakan di berbagai media cetak.
Novel ini mengisahkan perjalanan kehidupan pribadi seorang anak manusia yang penuh berliku, dimana saat dirinya membutuhkan belaian kasih seorang ibu, tapi buktinya sang ibu lebih awal pergi penghadap Sang Pencipta saat ia masih usia bocah.
Dapat dipahami benar peran ibu dalam membangun mental dan spiritual anak. Ada satu nasehat penting dari Dorothy Law Nolte yang patut kita simak relevan dengan unsur ibu dan juga tema cinta yang disinggung dalam novel ini; Kalau seorang anak hidup dengan kritik, ia akan belajar menghukum. Kalau seorang anak hidup dengan bermusuhan, ia akan belajar kekerasan. Kalau seorang anak hidup dengan olokan, ia belajar menjadi malu.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah. Kalau seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Kalau seorang anak hidup dengan keadilan, ia belajar menjalankan keadilan, ia belajar tentang iman. Kalau seorang anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri. Kalau seorang anak hidup dengan penerimaan serta persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia.
Dengan demikian novel ini juga bukan sekedar rangkaian kata-kata. Tetapi merupakan perlawanan penulis terhadap kecenderungan sosio politik dan sosio kultural yang kadang tuli dan tidak perduli terhadap realitas di sekelilingnya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata ”ikatlah ilmu dengan menuliskannya”, untuk menunjukan betapa pentingnya menulis (”mengikat” apa yang masuk ke dalam diri).
Menulis atau ”mengikat” akan membuat si penulis dapat menyusun dan kemudian mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan yang banyak tetapi tersebar, tidak terikat, mustahil dapat memberikan manfaat yang besar.
Sebaliknya, apabila setiap pengalaman (apalagi jika pengalaman itu mengandung banyak pengetahuan) dapat ”diikat” kemudian ditata, tentu pengalaman itu akan menjadi ilmu yang bercahaya.
Demikian pengantar saya dengan harapan, semoga novel ini melahirkan semangat, kegigihan, upaya tak mengenal lelah; dan lewat kegiatan menulislah, saya ingin memastikan bahwa kualitas Syahril terus meningkat sesuai dengan ilmu yang masuk.
Saya berdoa, semoga novel ini dapat mendorong rekan-rekan Syahril dan siapa saja yang membaca novel ini, untuk mengikuti jejaknya.
Ternate, 17 Januari 2009
Rabu, 17 Februari 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar