Rabu, 17 Februari 2010

NOVEL MENCARI CINTA (PART ONE)

Matahari belum merasakan teriknya secara penuh ke bumi. Ia masih memantul tiga empat sentimeter di atas permukaan laut yang terbentang luas. Konon, di atas lautan itu, para saudagar dan pelaut asing pernah menghirup aroma wangi Kae Kasaba yang harumnya mencucuk hidung. Di atas laut itu pula pernah Belanda menyeberangkan Guci Pusaka Gunung Makara dengan Kapal mereka. Orang-orang menamai laut itu dengan sebutan Laut Banda. Ia membujur mulai dari Pulau Seram lalu melingkar dan membalut Pulau Banda hingga pulau kecil berukuran sekitar 34 Km bujur sangkar di ujung Nuhu Evav (Kepualauan Kei) yang disebut-sebut sebagai Pulau Kur.
Orang-orang kami yang lahir dan besar di sini bangga menjadi penghuni pulau ini karena setiap saat dan waktu selalu bisa menyaksikan matahari terbit dan terbenam dengan mata kepala tanpa bantuan alat teropong. Begitu juga dengan Aku! Pekerjaan paling kusenangi adalah menjadi penghobi memandang matahari terbit dan tenggelam.
Hampir semua tempat penada tetesan cahaya keindahan matahari di Pulau ini sudah kudatangi; mulai dari Pantai Fitlar Wermasa, Faut Kapuin, Tutin, Dangar, Ngur Maloos, Koor, Tut Woen, Wer Kanara, Wer Pamonak, Lian Fatan, Bal Alfuil, Pemur, Yamtel, Nukus, Fat Buak, Kanara, Yapas, Rumoin, hingga Belya Tutin.
Aku punya banyak koleksi lukisan matahari terbit dan terbenam dengan latar belakang lautan dalam berbagai suasana. Pada waktu tertentu lautan kulukis tenang bagai kaca dan memantul kemilau cahaya kuning keemasan, kadang dengan warna merah membara. Diwaktu yang lain gambar matahari kutoreh berbentuk redup kelam dengan latar gelombang laut yang hitam kelam.
Bumiku memang menyimpan banyak misteri yang belum terkuak. Hanya cerita tutur tinular sambung menyambung dari lidah orang dolo-dolo hingga sedikit kaku dan tersengal di lidah anak-anak zaman moderen sekarang ini. Jika cerita generasi awal tentang negeri Kur yang keramat dituturkan oleh orang tua-tua, rasanya telingaku nikmat sekali mendengarkannya, karena biasanya selalu dibumbui dengan pantun dan aneka rempah kata-kata yang penuh hiperbola dan perbandingan. Sementara jika cerita itu dituturkan oleh anak-anak atau generasi sebayaku, rasanya aku kehilangan selera mendengar karena selain hambar di telinga, juga dikarenakan banyak pola tingkah laku mereka yang tidak menjadi penyedap masakan tutur kata yang tersajikan.
Orang tua-tua dolo selalu menjaga diri, menjaga hak orang lain, menjaga adat-aturan dan selalu taat beribadah! Kalau mengaji Alqur’an biasanya berjam-jam. Apalagi saat malam hari selesai Shalat Isya biasanya mereka baru tamat atau shadaqollah ketika larut malam. Makanya, ucapan kata Kur keramat di lidah mereka sangat terasa nikmat. Berbeda dengan lidah anak muda yang doyan berbohong dan terbiasa dengan kata-kata kotor dan cabul. Seribu kali menyebut Kur hanya menghasilkan kejengkelan di telinga.
Kini, populasi generasi tua sudah semakin berkurang dan posisi mereka diambil alih oleh generasi muda! Banyak diantaranya yang sudah mengenyam pendidikan moderen dan tidak pernah tertarik lagi untuk menggali khazanah kebudayaan Kur masa lalu yang penuh nilai. Mereka berangkat untuk menuntut ilmu ke Tual, Ambon, Papua, Ternate, Makassar bahkan ke Jakarta Ibu kota negara ini. Sayangnya, tidak ada satu pun buku yang ditulis untuk mengenang negeri ini. Sebagian mereka bangga mengklaim diri sebagai orang asing, berbahasa dengan logat kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia tinggi yang membuat orang kampung kami jadi kagum sekaligus bingung.
Kagum karena ternyata ada orang Kur yang sudah jadi orang hebat di rantau orang. Punya titel, kerja di departemen, punya rumah dan mobil mewah dan seabrek sematan lain. Bingung karena bahasa yang dituturkan kaum berpendidikan itu tidak dipahami oleh orang kampung yang rata-rata kemampuan berbahasa Indonesianya masih dibawah standar. Lebih celaka lagi, diam-diam ada juga sebagian orang Kur yang sampai hati menggantikan fam/ marga dengan nama yang lebih keren di rantau di sana biar dianggap sejajar dengan kelompok-kelompok elit yang sudah tersohor dan berpengaruh di luar daerahnya!
Marga Sirfef, Kilwakit, Karit, Boyratan, Fidmatan, Rumagorong, Maswatu, Rettob, Letsoin, Tatroman, Mafinanik, Yamko, Marananik, Rumatiga, Sarcol dan lain-lain dianggap hanya bagian identitas yang tidak penting milik warga di kampung yang hanya jadi pelengkap penderita. Membawa keluar marga itu dari kampung saat merantau hanya prinsip orang kampungan. Menyandang marga itu di tengah-tengah komunitas luar terasa ganjil dan mengganggu penampilan, maka dengan enteng dipangkas saja dan diganti dengan sebutan lain-lain. Biar status sosial jadi naik dan dipandang sebagai kelompok orang terkenal dari Kota. Sungguh kacang lupa kulit kata pribahasa!
Negeri kami menyimpan banyak misteri. Salah satunya kepercayaan warga akan penghuni siluman yang menjadi penunggu dua bukit kembar Gunung Makara dan Gunung Baluk Tufin. Sebuah kepercayaan yang berurat berakar sekian lama sepanjang sejarah! Bukan tidak ada, tetapi ada! Dan itu dianggap oleh warga sebagai penjaga dan pemagar kampung setiap ada bahaya yang datang mengancam.
Ini sebuah fakta yang bagi sebagian orang Kota perlu dibuktikan secara ilmiah, tetapi apakah itu yang namanya ilmiah? Masyarakat kami di kampung tidak mengenal kata ini. Ia baru dipopulerkan oleh kelompok generasi berpendidikan yang menuntut ilmu di kota-kota dan pulang kampung saat liburan tiba. Orang tua-tua di kampung cukup meyakini, bahwa penunggu Gunung Makara dan Pulau kur itu ada dan selalu siap dua kali dua puluh empat jam untuk menjaga negeri. Jika ada bahaya yang mengancam cukup ditengarai dengan menaruh sirih pinang atau tembakau kampung sekedarnya untuk syarat melibatkan roh-roh halus itu dalam pengamanan negeri. Sebuah kenyataan yang sudah turun temurun dilakukan.
Jangan coba-coba mengenakan pakaian merah ketika berada di Tut Woen atau saat hendak mendaki gunung Makara dan Baluk Tufin, karena warna itulah yang selalu dikenakan para penunggu negeri keramat itu. Jika ada yang mengenakannya juga maka bersiap-siaplah untuk hilang atau ditimpa penyakit sinting alias gila.
Keyakinan ini mendarah daging dalam kesadaran orang-orang pribumi Kur! Apalagi yang sejak lahir, besar hingga tua tidak kemana-mana hanya hinggap di sepenceng pulau kecil itu menanti ajal datang menjemput suatu hari! Semangat untuk membela kepercayaan kuno itu boleh dibilang sama dengan keyakinan mati syahid dalam Islam. Jangan sembarangan mengobok-obok kepercayaan kuno, paluil nanti sakit perut! Begitu doktrin yang diajarkan kepada anak-anak yang sudah mulai belajar mengeja kata.
Pada awalnya aku bingung ketika menyaksikan pranata sosial masyarakatku diatata di atas pondasi yang masih diwarnai bumbu-bumbu animisme seperti ini. Kenapa Tuhan di negeri keramat hampir dilupakan dan digantikan posisinya oleh roh-roh gaib? Apakah Tuhan hanya sekedar formalitas dan roh-roh gaib itu yang menjadi realitas? Mungkin karena yang disembah ternyata dua sekaligus; Tuhan dan roh gaib. Tuhan disembah ketika di Mesjid dan roh gaib disembah di tempat-tempat angker. Sebuah fakta yang dalam ajaran agama Islam disebut sebagai syirik. Tapi lagi-lagi apakah masyarakatku sudah melakukan syirik? Sebuah pengalaman spritual pertama; pelajaran mencari Tuhan!!
Banyak tempat aneh yang butuh didefinisikan dari negeri ini. Tut Woen, Bebak Werlen, Faut Kapuin, Halur Bulees, hingga Tanjung Soit di sebelah barat Pulau Kur. Semua ini menjadi tugas para intelektual anak negeri yang berangkat menuntut ilmu di kota-kota itu. Mampukah mereka melakukan purifikasi ajaran adat, agama dan budaya sehingga tidak sampai tumpang tindih dipahami oleh warga yang awam? Semakin menggoda hati, ketika aku menyaksikan pecahan ombak menghantam dinding Kapal Batu di depan Lian Sangur! Tidak bisa kubayangkan bagaimana batu ini bisa menjadi monumen sejarah entah berantah? Sama halnya dengan Burung Fatsual, Faut Yaar, dan Pajamaran di Faut Kapuin di pertengahan dua kampung Ngur Maloos dan Hirit. Fenomena lokal yang menggugat pranata-pranata ilmiah tetapi menantang untuk didefinisikan dengan menggunakan beragam pendekatan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar