MENJADI MAHASISWA
Dessember kelabu, tibalah saatnya aku harus meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau ke negeri seberang. Aku harus rela menanggung sisi pilihan terberat dalam hidupku berpisah dengan Rita cintaku! Aku mau berubah dari anak kampung menjadi orang sukses dan berhasil! Aku mau maju dan membuang sekat orang desa yang dikesankan selalu tertinggal dan bodoh. Aku mau membawa seutas kesuksesan untuk Ritaku sayang. Aku ingin agar tradisi hidup dua dimensi yang bertahun-tahun menjajah kehidupan orang kampung seperti kami tidak berlaku atas diriku dan Rita. Maka tantangan ini harus kujawab. Aku harus merantau. Tapi bukan untuk mencari uang. Bukan untuk mengejar harta duniawi. Aku ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Aku ingin kuliah dan kuat tekadku untuk suatu saat dapat menggugat praktek hidup dua dimensi ; lahir dan kemudian mati di tempat seperti sebatang pohon yang tumbuh, berkembang besar dan mati di atas lahan yang ditumbuhinya tanpa mau bergeser.
Negeri yang kupilih adalah Ternate, bumi para Sulthan yang menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia bagian timur. Di negeri ini aku menjalani hidup keras dengan tantangan paling luar biasa. Aku sudah terlanjur ke sini, dan telah mendeklarasikan keinginanku untuk orang sekampung bahwa aku akan kuliah di sini. Mau urungkan niat? Itu perkara memalukan. Mau tetap dengan keinginan untuk kuliah? Tidak ada biaya. Waduh, pusing tujuh keliling. Tapi yakinlah aku dengan nasehat Tuhan yang saban waktu selalu menyapa gendang telinga batinku “ sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan.” Inilah uang dan hartakuku yang paling berharga, yang membantu meneguhkan keyakinan hatiku agar aku selalu memaknai namaku, si Sobar manusia sabar. Karena sabar akan jadi subur. Orang sabar selalu disayang Tuhan. Sabar akan mendatangkan kesuksesan. Sabar, sabar dan terus bersabar.
Tanggal 13 Juni, aku resmi diterima sebagai Calon Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ternate. Tiga hari berikutnya aku jalani tes masuk, dan sehari kemudian aku resmi dinyatakan diterima. Maka hari-hari selanjutnya aku menjalani proses hidup sebagai mahasiswa di perguruan tinggi Islam itu dengan penuh semangat.
Aku hanyutkan diriku dalam mempelajari pemikiran-pemikiran ulama besar, dan berdebat tentang konsep keislaman moderen dan tradisional. Aku berpapasan dengan pemikiran cemerlang Imam Al Ghazali, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ibnu Thaimiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, Syaid Quthub, berjumpa dengan ide-ide brilian Hasan Al Banna. Aku juga berdialog dengan pemikiran Fazlurrahman, Ali Syariati, Hasan Turaby, Muhammed Arkoun dan lain sebagainya. Seru, asyik dan mendebarkan hingga menantang sisi keimanan paling terdalam di hatiku tentang apakah Islam?
Apakah aku ini seorang Muslim? Kafirkah aku jika aku tampil mempertanyakan keyakinanku fa aina Allah? Dimanakah Allah? Musyrikkah aku jika aku terpeleset memaknai ajaran ittihad dan hulul yang mengantarkan Husein bin Manshur Alhallaj ke tiang gantungan lantaran tidak kuasa dan sanggup menahan rayuan alam malakut untuk berujar faseh “anal haq ?”
Siapkah aku untuk tampil berpaham ketuhanan seperti Syekh Siti Jenar di tanah Jawa yang mengajarkan paham Manunggaling Kawula Gusti yang akhirnya dihukum Dewan Wali sebagai orang sesat yang kemudian dihukum bunuh dengan keris pusaka oleh Sunan Kalijaga? Ah, terlampau dini! Toh, aku hanya pembelajar. Seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa!
Di negeri yang dijuluki Maloku Kie Raha, aku habiskan waktu tujuh tahun untuk menuntut ilmu sambil belajar lepas tentang segala hal. Tentang organisasi, pencarian jati diri, tentang realitas hidup, makna perbedaan dan bahkan yang paling fundamen tentu saja adalah mencari tahu arti cinta yang terus menjadi misteri dan mendalaminya di setiap ruang dan sudut negeri itu.
Aku semakin tertantang untuk menguak tabir cinta; tatkala rasa rindu dan cinta semakin menyayat-nyayat batin hatiku lantaran jauh dari Rita gadis pujaanku. Jauh dari orang tuaku. Jauh dari semua teman-teman masa kecilku. Aku rindu keindahan di dekat mereka semuanya. Aku rindu duduk bersama teman-teman di pantai Wermasa dan membakar daun-daun kelapa kering sambil menyaksikan sunsit pemandangan matahari senja di laut lepas ambil bercanda ria.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar