Selasa, 23 Februari 2010

PENGANTAR NOVEL MENCARI CINTA


PENGANTAR PENULIS



BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Segala puji bagi Allah Tuhan Yang Mahaindah dan Mahacantik. Mulut lelah untuk mengucap syukur, hati lemas menanggung perjuangan, raga apalagi! Tetapi Dia tidak pernah melihat kelemahan hamba-Nya sebagai dosa, melainkan alpa yang harus diampuni.
Shalawat dan Salam semoga terlimpah curah selalu kepada arwah dan raga Kanjeng Tuan Nabi yang budiman; Muhammad Rasululloh Saw, keluarga ahli bait yang mulia dan suci serta para sahabat, ulama, para wali, salihin-salihat, mu’minin-mu’minat, muslimin dan muslimat dimana saja mereka berada.
Sebuah Novel yang sudah saya rintis sekian lama akhirnya rampung pada bulan Ramadhan 1429 Hijriyah yang penuh berkah. Bertepatan dengan tahun 2008 bulan September. Sebuah upaya yang sangat melelahkan setelah jatuh bangun menambal dan memperbaiki kekurangan isinya disana-sini.
Awalnya saya berpikir, bisa membuat sebuah buku fiksi seperti ini dengan tampilan yang agak berbeda dengan buku-buku fiksi lain pada umumnya, yaitu semasa masih aktif kuliah di Fakultas Tarbiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ternate dulu. Sejak itu saya sudah memulai menulis dengan judul yang berbeda-beda; Pertama kali saya gunakan judul ARIF MENCARI CINTA, tetapi setelah jauh melangkah judul itu saya rubah; CINTA BERPENDAR DI ATAS BUMI MAKARA, namun lagi-lagi saya rombak total judul dan sebagian besar isinya karena tidak konek dengan maksud awal; mengungkap rahasia cinta dalam pencarian.
Atas hidayah dan pertolongan Allah jua, akhirnya judul dan isi yang sekarang ada di tangan pembaca bisa rampung dengan baik. Didasari beberapa pertimbangan sederhana, Pertama ; untuk menyederhanakan maksud dan tujuan pembaca mengambil kesimpulan, maka proses penuturan kisah dalam Novel ini tidak monoton bercerita persoalan cinta, tetapi dipadukan dengan kebudayaan masyarakat Kur dan perjuangan manusiawi dalam menggapai tujuan dengan pernak-perniknya dan warna tersendiri sebagai implementasi keindahan lain milik Tuhan.
Kedua; sebagai pendukung pertimbangan awal itu, maka Novel ini dibagi perdua bagian; bagian pertama merupakan kisah yang langsung dituturkan oleh sang tokoh! Sehingga bagi setiap pembaca, seakan-akan ia sendiri yang menjalani proses-proses itu. Sementara, bagian kedua menganut gaya penuturan pasif. Artinya, kisahnya sudah dituturkan orang kedua dan atau orang ketiga, bukan lagi pelaku atau orang pertama. Maksudnya adalah agar di bagian ini pembaca bisa memetik hikmah secara lengkap dan lebih mendalam.
Ketiga; sebagai pengayaan pada dua bagian akhir Penulis menyertakan bacaan suplemen dari kisah cinta yang mengharu-birukan rasa yang terambil dari karya agung sufi terkenal Fariduddin Al Athar tentang kisah cinta Syech San’an dan gadis Rumawi bernama Cahaya Matahari. Disudahi dengan Munajat.
Semoga paket Novel ini menjadi sesuatu yang berguna dalam menambah referensi penghayatan terhadap nikmat tertinggi Tuhan yang disebut cinta, sehingga kita semua mewarnai hidup ini dengannya; mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya jua.
Kemudian selain dari pada itu, saya menekankan kepada Pembaca yang budiman bahwa isi novel ini bukan pengalaman seratus persen dari seseorang tokoh; justru itu tidak bisa disebut sebagai Novel fakta. Dan juga, tidak dikatakan fiktif seratus persen karena ada beberapa hal yang benar-benar fakta. Saya akan sebutkan biar Pembaca sekalian tidak bingung;
a. Sejarah dan adat istiadat masyarakat Kur dan beberapa tempat yang disinggung sebagai bagian dari alur Novel ini memang benar-benar ada dan termasuk fakta.
b. Keberadaan tokoh pelengkap dari runutan keturunan tokoh utama (Muhammad Sobaruddin) dari jalur Raut Sinen, Leba Surein, Qua, kemudian informasi sekilas dengan marga Boiratan dan lainnya dalam isi Novel ini memang benar-benar ada. Hanya saja, proses penulisan ini dikaburkan pada tokoh utama sehingga tidak ada klaim bahwa isi novel ini murni pengalaman seseorang.
c. Pengalaman interaktif dari tokoh utama; meliputi latar belakang pendidikan dan karier memang murni merujuk kepada pengalaman Penulis sendiri agar lebih terfokus dalam merangkum tujuan utama.
d. Dalam beberapa hal, Penulis menyertakan catatan kaki pada beberapa kata maupun tempat serta nama sehingga bisa dirujuk dari sumbernya yang lebih autentik.

Hal ini harus saya kemukakan pada Pengantar ini sehingga melepaskan Penulis dari tuntutan dan klaim yang tidak seharusnya ada akibat terbitnya Novel ini, karena beberapa teman dan kenalan pada saat membaca naskah awal sempat mengajukan pertanyaan ; apakah Novel ini adalah akumulasi dari pengalaman hidup penulis sendiri? Maka sekali lagi saya jawab tidak seratus persen seperti yang sudah dikemukakan di atas.
Demikian, sebelum disudahi saya persembahkan terima kasih serta penghargaan sebesar-besarnya kepada semua yang menginspirsi lahirnya karya ini. Kepada ayah bunda, semoga Allah SWT mengasihi kalian seperti kalian mengasihani nanda semasa kecil. Kepada kedua adik saya yang merelakan masa muda mereka terenggut untuk studi kakak mereka; Fiqih Maruf dan Anwar Zadat semoga Allah menunjuki kalian jalan kembali yang lurus kepada agama-Nya.
Kepada guru-guru saya di SD hingga Perguruan Tinggi; Bapak J.Renhoran, Bapak Santiasa Boyratan, Johanis Samderubun, J. Yamlean, Taher Maswatu (Almrhm), A.Kadir Rettob, M. Rumles (Almrhm), Dahlan Ohoirenan, M.Lutfi Ohoirenan.
Kepada dosen-dosen saya; M. Yahya Misbah MA (Sekarang sudah dimana Pak setelah tidak lagi menjabat Ketua STAIN? ), Drs. Abdjan Yahya. M.Ag, DR. M. Ishom Yoesqy, MA (Biar sudah ditarik kembali oleh Departemen Agama RI Pusat tapi lihat-lihat kami yang di Ternate juga, yah Pak!), DR. Abd. Rahman Marassabesy, MA (Terima kasih atas bimbingannya dalam menuntaskan Skripsi Tasawwuf saya) Bpk DR. Yunus Namsa, Msi, Bpk Adnan Mahmud, MA, Sahjad M. Aksan MA, Dra. Junaena Misbah, Sulaeman L Azis, Msi, Jubair Sitomorang, MA, Dra. Basaria Nainggolan MA, Hamzah Giling MA. Pak Dosen yang guyonan filsafatnya merontokkan nyali Bapak DR. Syarifuddin Ghazal M.Si.
Kepada seluruh civitas akademika STAIN Ternate. Kepada Dosen dan orang paling berjasa mengenalkan dasar-dasar jurnalistik praktis kepada saya; Bapak DR. Arifin Rada, SH, MH saya ucapkan banyak terima kasih atas jasanya tidak sanggup saya balas. (Maaf Pak! saya masih merepotkan dengan harus meminta sambutannya, he he).
Kepada Kanda Ust. Nawawi Saidi Karit, SHI dan istrinya Nurul’aini Hanafi serta dua ponakan saya yang cakep dan menawan Muhammad Fikri Haikal Annawawi dan Siti Kholila Humaira Annawawi, Abang Ali Lafuku dan istri Kak Ida Boiratan serta anak-anak; Jana (Almrhmh), Alan, Dafi, Wati dan Hilda, Abang Djen Boyratan dan istri, Om Muhammad Mardjan Rumagorong (Almrhm) dan Mama Ani serta anak-anak, Bapak Dayan Rumagorong dan Mama Fifa, Om Hairan dan Mama Bayu, Om Timo Salea dan Tante Ida Halim, Bapak Moh. Kasim Mafinanik dan Ny. Kaida Boyratan, Djuanda Boyratan (Almrhm) dan istri Ny. Eta Boyratan, Bapak Rustam Djohar dan Mama Ben, Abang Azis Fidmatan, S.Sos, M.Si dan Mba Yuni. Saudara-saudariku; Abdu, Abdul Hamid, Dali, Jamal, Cen, Erawati, Jamalia, Innoi, Nona, Sari dan segenap kelompok pelajar mahasiswa Kur di Ambon, khusus di Batu Tagepe.
Kepada komunitas mahasiswa Kur Fak Fak, Eman, Muh. Ali, Ema, Jani, Rizal, Safarudin, Abd. Salam, Abd. Latif, Saifudin, Mohrani, Erfina, Inda, Ona, Siti, Orip, Aci, dan lain-lain. Selamat berjuang untuk menuntaskan misi cita-cita (semoga sukses selalu). Tidak lupa juga karya ini kupersembahkan kepada adik yang gigih berjuang Fatma Letsoin (Kamu satu-satunya contoh terbaik Srikandi negeri Kilsoin yang megalir bagai air, merambah menembus dinding tradisi beku untuk menuntut ilmu di tanah Jawa. Saya bangga padamu).
Juga untuk mengenang Shandra di tahun 1999-2000 (semoga selalu bahagia bersama keluargamu). Juga untuk segenap mereka yang bersungguh-sungguh di jalan cinta, semoga Allah ridha dan menuntaskan misi mulia itu di dalam agama-Nya!
Spesial Novel ini kutulis sebagai hamparan mutiara untuk calon bidadari yang kelak mendampingi hidupku. (Semoga Allah mempertemukan kami dalam nuansa kesucian, saling mencintai dan membenci karena Allah semata, bukan harta, bukan rupa, bukan pangkat dan jabatan tetapi karena agama).
Kepada teman-teman di HIPMMAT Ternate, (bagaimana kegiatannya kini? ) kepada akhi dan ukhti para aktivis da’wah kampus (LDK) Al Ishlah STAIN Ternate dan Babussalam Unkhair Ternate, teman-teman di KAMMI/ KAMDA Maluku dan Maluku Utara, para aktivis kajian kiri dan kanan yang sempat bersentuhan dengan Penulis. Teman-teman di HMI MPO dan HMI DPO, PMII dan IMM baik di Maluku utara, Maluku, maupun Tual Maluku Tenggara.
Kepada Bpk Taraweh Djamaluddin Pemimpin Redaksi Harian Cermin Reformasi (Almrhm), Sobat-sobat saya para jurnalis yang tidak kenal lelah memperjuangkan kebenaran lewat ujung pena mereka; Burhan Hi. Ismail, Syahril Siradju, Wati, Udin, Uni, Alex, Lismawati, Ahyar Hanubun, Fatmawati dan lain-lain yang tidak habis-habisnya saya sebut walau ditambah beberapa buku lagi.
Kepada peserta Tranning Infestigative Report Jurnalisme Pice BBC World Service Manado angkatan 2005; yang juga turut menginspirasi penulisan Novel ini (saya sudah menulis! Bagaimana dengan teman-teman yang lainnya?)
Kepada guru-guru non formal saya yang dari mereka saya banyak belajar hal-hal yang tidak biasa. Kepada para sufi, para wali, para syuhada dan sholihin saya sampaikan do’a dan perantara semoga Ridha Allah menyertai usaha ini.
Akhirnya dari lubuk hati yang paling dalam saya sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang tidak berkenan dalam penulisan Novel ini, karena maksud saya tidak menghendaki ada kebencian yang lahir setelah membacanya melainkan cinta. Semoga bermanfaat, terima kasih sebanyak-banyaknya atas bantuan berbagai pihak yang memungkinkan karya ini bisa terpublikasi. Kepada Penerbit Yayasan Fatsual Mandiri saya ucapkan terima kasih atas kesediaan mempublikasikan karya ini. Semoga Allah membalas jasa baik kalian semuanya. Ma’assalamah wal afwu minkum.



Syahril Rumagorong

MENCARI CINTA (PART 7)


MENJADI MAHASISWA

Dessember kelabu, tibalah saatnya aku harus meninggalkan kampung halaman untuk pergi merantau ke negeri seberang. Aku harus rela menanggung sisi pilihan terberat dalam hidupku berpisah dengan Rita cintaku! Aku mau berubah dari anak kampung menjadi orang sukses dan berhasil! Aku mau maju dan membuang sekat orang desa yang dikesankan selalu tertinggal dan bodoh. Aku mau membawa seutas kesuksesan untuk Ritaku sayang. Aku ingin agar tradisi hidup dua dimensi yang bertahun-tahun menjajah kehidupan orang kampung seperti kami tidak berlaku atas diriku dan Rita. Maka tantangan ini harus kujawab. Aku harus merantau. Tapi bukan untuk mencari uang. Bukan untuk mengejar harta duniawi. Aku ingin melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Aku ingin kuliah dan kuat tekadku untuk suatu saat dapat menggugat praktek hidup dua dimensi ; lahir dan kemudian mati di tempat seperti sebatang pohon yang tumbuh, berkembang besar dan mati di atas lahan yang ditumbuhinya tanpa mau bergeser.
Negeri yang kupilih adalah Ternate, bumi para Sulthan yang menjadi pusat penyebaran Islam di Indonesia bagian timur. Di negeri ini aku menjalani hidup keras dengan tantangan paling luar biasa. Aku sudah terlanjur ke sini, dan telah mendeklarasikan keinginanku untuk orang sekampung bahwa aku akan kuliah di sini. Mau urungkan niat? Itu perkara memalukan. Mau tetap dengan keinginan untuk kuliah? Tidak ada biaya. Waduh, pusing tujuh keliling. Tapi yakinlah aku dengan nasehat Tuhan yang saban waktu selalu menyapa gendang telinga batinku “ sesungguhnya sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan.” Inilah uang dan hartakuku yang paling berharga, yang membantu meneguhkan keyakinan hatiku agar aku selalu memaknai namaku, si Sobar manusia sabar. Karena sabar akan jadi subur. Orang sabar selalu disayang Tuhan. Sabar akan mendatangkan kesuksesan. Sabar, sabar dan terus bersabar.
Tanggal 13 Juni, aku resmi diterima sebagai Calon Mahasiswa pada Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ternate. Tiga hari berikutnya aku jalani tes masuk, dan sehari kemudian aku resmi dinyatakan diterima. Maka hari-hari selanjutnya aku menjalani proses hidup sebagai mahasiswa di perguruan tinggi Islam itu dengan penuh semangat.
Aku hanyutkan diriku dalam mempelajari pemikiran-pemikiran ulama besar, dan berdebat tentang konsep keislaman moderen dan tradisional. Aku berpapasan dengan pemikiran cemerlang Imam Al Ghazali, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, Ibnu Thaimiyah, Muhammad Abduh, Jamaluddin Al Afghani, Syaid Quthub, berjumpa dengan ide-ide brilian Hasan Al Banna. Aku juga berdialog dengan pemikiran Fazlurrahman, Ali Syariati, Hasan Turaby, Muhammed Arkoun dan lain sebagainya. Seru, asyik dan mendebarkan hingga menantang sisi keimanan paling terdalam di hatiku tentang apakah Islam?
Apakah aku ini seorang Muslim? Kafirkah aku jika aku tampil mempertanyakan keyakinanku fa aina Allah? Dimanakah Allah? Musyrikkah aku jika aku terpeleset memaknai ajaran ittihad dan hulul yang mengantarkan Husein bin Manshur Alhallaj ke tiang gantungan lantaran tidak kuasa dan sanggup menahan rayuan alam malakut untuk berujar faseh “anal haq ?”
Siapkah aku untuk tampil berpaham ketuhanan seperti Syekh Siti Jenar di tanah Jawa yang mengajarkan paham Manunggaling Kawula Gusti yang akhirnya dihukum Dewan Wali sebagai orang sesat yang kemudian dihukum bunuh dengan keris pusaka oleh Sunan Kalijaga? Ah, terlampau dini! Toh, aku hanya pembelajar. Seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa!
Di negeri yang dijuluki Maloku Kie Raha, aku habiskan waktu tujuh tahun untuk menuntut ilmu sambil belajar lepas tentang segala hal. Tentang organisasi, pencarian jati diri, tentang realitas hidup, makna perbedaan dan bahkan yang paling fundamen tentu saja adalah mencari tahu arti cinta yang terus menjadi misteri dan mendalaminya di setiap ruang dan sudut negeri itu.
Aku semakin tertantang untuk menguak tabir cinta; tatkala rasa rindu dan cinta semakin menyayat-nyayat batin hatiku lantaran jauh dari Rita gadis pujaanku. Jauh dari orang tuaku. Jauh dari semua teman-teman masa kecilku. Aku rindu keindahan di dekat mereka semuanya. Aku rindu duduk bersama teman-teman di pantai Wermasa dan membakar daun-daun kelapa kering sambil menyaksikan sunsit pemandangan matahari senja di laut lepas ambil bercanda ria.

MENCARI CINTA (PART 6)

JATUH CINTA

Kata apa sebenarnya ini? Cinta! Berapa tingginya? berapa dalamnya? berapa panjangnya? Apa warnanya? Siapakah makhluk bernama cinta? Dimana ia tinggal? Kapan ia datang? mengapa ia ada? dan bagaimana ia mengenalkan dirinya? Siapakah yang bisa menjawabnya?
Pertanyaan yang telah membuat Qais menderita gila hingga akhir hayatnya tidak pernah bersua jawabnya. Ia malah menabrak sanksi sosial yang dengan kejam memberi gelar Majnun di atas pundaknya. Kata ini juga yang membuat seorang alim dan cerdik semisal Zainuddin tidak berdaya dalam mempertahankan ego dan rasanya kepada Nur Hayati. Lalu maut datang merenggut halus nyawanya lantaran menanggung wujud kata ini.
Juga kata inilah yang menabuh rasa penyatuan teramat sangat dalam sukma Syirin si wanita tercantik jagat hingga ia membenamkan dengan tangannya sendiri sebuah belati putih mengkilap ke dalam jantungnya disamping lubang kuburan Khusrau suaminya.
Kata Cinta jugalah yang membuat Zulaikha tergila-gila pada Yusuf dan nekat menanggung sengsara batin akibat memenjarakan Yusuf cintanya dan lalu diam-diam menanggung luka perbuatannya hingga wajahnya berubah tua sebelum saatnya, padahal ia masih berusia muda.
Duhai! Apakah makna dan rupa cinta itu? Seperti emaskah dia? Atau semanis madukah? Atau selicin kaca haluskah? Wallahu a’lamu bissowab! Aku tidak tahu sebagaimana saudara juga tidak tahu.
*****
Jemariku hampir kaku menorehkan tinta dari ujung kwas dan menyapukannya di atas hamparan kain lukisan di depanku. Aku awali dengan mengukir bola matanya. Konon Tuhan juga menjadikan manusia di alam rahim diawali dengan pembentukan mata pada kali pertama. Maka mata yang kulukis dengan penuh hati-hati. Aku tuangkan tinta dengan melibatkan segenap rasa dan sukmaku! Menghasilkan dua bola mata kekasih yang sangat menawan. Apalagi ketika alisnya melengkapi. Sebuah ketakjuban yang hanya bisa diwakili dengan kalimat suci Tuhan; “Subhaanallah”. Alangkah eloknya!
Wajahnya berbentuk bulat telur dengan hidung mancung dan bibir sedikit terbuka. Poni rambutnya kubiarkan kwasku menorehnya membelah di atas jidatnya, dan wajahnya mirip Masakooya , yang bersinar cemerlang menerangi ruang gelap kehidupan. Sempurna! Tak ubah rupa Dewi Venus sedang dicopy pada halaman kain ukisan hasil karyaku! Bintang Yunani yang menjadi idola dalam legenda kuno dan sempat mewarnai blantika tuturan dunia tentang rupa kecantikan. Tidak salah lagi, inilah dia wajah gadis kampung bernama Shandra.
Aku pandangi wajah lukisan tanganku dengan kagum. Kurasakan geteran aneh itu muncul dengan tiba-tiba. Ia merayap melalui syaraf mataku, menembus retina dan mengirim sinyal listrik ke otak lalu membentuk gelombang magnetis bergumpal-gumpal menyerang benteng pertahananku dan menjebolnya hingga aku tidak berdaya di hadapan poster menawan yang aku lukis sendiri.
Keringat bercucuran dari jidatku dan masuk menembus bola mataku! Membuat pandangan mataku sedikit kabur menatap poster lukisan Shandra. Kulihat ia tersenyum. Ruangan kamarku berubah menjadi terang, serasa rembulan sedang jatuh dari langit dan berpendar di bawah plafon rumahku! Aku jatuh cinta. Yah jatuh cinta. Tapi apa itu cinta? Aku tidak tahu mengartikannya, selain rasa keindahan dalam desiran nafas dan urat nadi hidupku yang bisa kurasakan dan kukatakan kepada setiap penanya, apa itu cinta?
Dua hari lagi, gambar lukisan itu sudah harus kukirim ke Tual untuk menemui pemiliknya yang berjuang menuntut ilmu di sana. Aku masukkan gambar itu dengan hati-hati ke dalam sebuah amplop coklat panjang dan kutuliskan nama serta alamat Sandra pada sampulnya. Tidak lupa kumasukkan juga sebatang bunga Kae Faur Puis Waja dengan sepotong kertas putih yang kutuliskan pantun kuno;

Kae Faur Puis Waja Imatoot la keel woen bunung be mo ma. Limam rua nennenik matam rua lok-lok bunung bee mo maa.
Oleh orang yang menaksir wajahmu dan mengharap cintamu. Sobar!

Genap satu minggu setelah gambar itu kukirim menerobos selat Faut Kapuin yang ganas hingga selat Er Ngodan yang selalu minta korban pada musim barat. Dadaku selalu berdebar, dan malam harinya selalu berkeringat. Aku sesak nafas bukan karena gejala TBC atau terkena virus HIV, sungguh tidak sama sekali karena berdasarkan diagnosa dokter Puskesmas aku dikatakan normal-normal saja.
Aku baru tahu bahwa keringat dan sesak nafas itu karena alamat akan mendengar kabar tidak sedap. Aku ditolak. Cintaku ditendang Shandra dengan bahasanya yang santun tapi sungguh menyakitkan seluruh sendi-sendi tulang belulangku; “Kita bersaudara saja!”
Bersaudara? Apakah aku siap menerima sikap generalisir perasaan atas nama persaudaraan yang ditawarkan Shandra untuk membunuh hawa perasaan cintaku padanya? Ah, aku tidak siap. Aku tidak akan sanggup mematikan rasa cinta ini hanya untuk mengamankan arti persaudaraan, karena perasaanku untuk Shandra tidak sama dengan perasaanku ke saudara-saudaraku yang lain. Saudara sekandung, sepupu satu kali, sepupu dua kali, dan seterusnya. Perasaanku jika kubedah dengan pisau analisa maka ia tidak sama. Beda jauh antara langit dan bumi. Perasaan untuk saudara-saudaraku bergerak di area linear, sedangkan untuk Shandra ia menukik naik dan turun berupa garis diagonal gelombang-gelombang radio yang menyusup menembus dan merembes di udara. Beda! Sungguh sangat berbeda. Bagaimana Shandra melemparku ke kotak alasan yang sama sekali tidak nyambung? Tapi biarlah, mungkin saja perasaan ini hanya mendera aku. Aduhh….tidak adil rasanya cinta harus bertepuk sebelah tangan. Tapi apa mau dikata, memang aku harus menerima kenyataan.
Walau begitu, aku selalu berusaha meyakinkan Shandra lewat surat demi surat yang kukirimkan kepadanya. Walaupun seribu kali kukurim surat seribu kali ditolak aku tetap bangkit dan mencoba. Aku merayunya dari berbagai sisi yang bisa aku lakukan. Tapi tetap saja tidak membuahkan hasil dan aku tetap terseret ke pojok kekecewaan. Cintaku selalu ditolaknya. Aku terpaksa merelakan jiwaku untuk menanggung sisi gelap dari penolakan yang dinamakan kekecewaan, frustrasi, stres dan entah nama apa lagi. Aku terpuruk ke dasar perasaan yang kubangun sendiri. Hampir mati aku memendam rasa suram dan lebam dihantam badai penolakan. Aku menarik kesimpulan kedua, cinta memang kejam.
Pada Dessember tahun Kabisath, aku resmi memutuskan untuk berhenti dari tindakan bodoh merayu Shandra. Aku capek menjadi insan perayu. Harga diri, nama baik, kehormatan dan seabrek sematan sebagai anak adat yang tahu adat dan aturan jadi melorot habis di kaki kenyataan penolakan yang aku temui. Siapa aku? Apa itu cinta? Semakin menjadi misteri dan sulit dimengerti.
Pada tahun berikutnya, tiga gadis paras nan ayu datang lagi ke rumahku minta dilukis. Kali ini seorang dengan bodi semampai menyamai bentuk guitarnya Rhoma Irama memang agak lain dari yang lain. Wajahnya cantik alami, jelita bak matahari terbit yang merontokkan gelapnya malam dengan tukikan cahayanya yang kemilau. Inikah Telyoor yang dipuji-puji para pejalan malam? Inikah dia ratu kecantikan Marlyn Monroe yang tersesat dan terdampar di Pulau ini? Hatiku kembali merajut benang kesengsaraan yang sudah lama kuhempas dari lukisan Shandra sebelumnya. Rasa indah itu kembali bersemi, dan mengispirasi karya lukisanku kali ini dengan polesan agak klasik tapi tetap memiliki cita rasa tinggi. Mungkin inilah lukisan Monalisa gaya kampung, yang sesungguhnya memiliki esensi nilai estetika yang tidak berbeda dengan hasil karya Leonardo Da Vinci itu.
Keterpikatanku pada pemilik bodi guitar melupakan aku pada dua temannya yang lain. Gadis dari tetangga kampung, pemilik bodi tinggi semampai, hidung mancung yang juga ala bintang Kejora, pemilik mata lentik bagai rembulan empat belas hari. Raja dan ratu kecantikan sejagat yang menggoncang catwalk perasaanku. Aku terharu biru oleh hantaman aura cinta akibat terlampau lama menatap mata gadis bernama Rita ini. Aku kasmaran lagi. Aku jatuh cinta lagi. Tapi, apakah dia mau menerima ungkapan cintaku?
Ah cinta memang aneh! Aku sudah memiliki pengalaman paling menyakitkan tentang cinta yang bertepuk sebelah tangan. Paling tidak, ini bisa menolong aku untuk tidak jatuh tersungkur kedua kali jika aku terpaksa ditendang lagi dengan sepakan Kiba Dachi atau tendangan putar kibasan ekor harimau menyapu mangsa.
Biarlah, akan kucoba untuk mengatakan ini padanya. “I Love you” tapi bagaimana caranya? Oke, aku akan gunakan cara sebagaimana yang kulakukan pada Shandra dulu. Lukisan Rita sudah rampung pada hari kedua, dan hari ketiga ia sudah menerimanya. Ia membuka bungkusan amplop coklat dan mendapatkan sehelai bunga Kae Faur Puis Waja yang kusematkan dengan sehelai kertas bertuliskan puisi karyaku yang diilhami oleh buku-buku Kahlil Gibran penyair legendaris Lebanon;

Jika kumelihat tatapan cahaya mata lukisanmu, aura hatiku bergemuruh laksana gemuruhnya Sungai Nil yang meluap-luap di Mesir. Aku terhempas dan terapung di atas Sungai Gangga India dan terdampar di halaman Taj Mahal. Sempurnalah kecantikan yang terpatri pada dirimu laksana bidadari. I Love You.

Beda dengan Shandra! Rita tampak puas dengan karya lukisanku dan sederetan tulisan pada helai kertas putih diapit kelopak kembang Kae Faur Puis Waja . Rita tampak tenang dan menikmati pujianku dengan suka cita. Sikapnya ini membuatku kehilangan kendali untuk memacu langkah mengejar cintanya. Aku yakin Rita pasti mencintaiku. Aku lihat gemuruh rasa itu lewat tatap matanya yang berbinar-binar. Pada senyumnya yang merontokkan bulu nyawa. Pada desah nafasnya yang menggoda. Ia laksana batu permata jamrud dan mutiara yang tercecer di atas muka bumi. Pasti jadi incaran dan rebutan para kafilah yang berlalu.
Dalam hatiku terbesit semangat dan keinginan yang begitu kuat untuk menjadi orang beruntung yang kelak memiliki gadis Telyoor ini. Ia adalah mutiara berharga yang tidak boleh jatuh ke tangan penghianat dan perusak dunia. Ia adalah lembaran kertas suci yang tidak boleh ditulisi oleh manusia goblok, bebal dan bodoh. Tapi duhai, kiranya siapakah pangeran beruntung yang akan mendapatkan cinta Rita? Aha, cinta, cinta dan cinta! Aku tidak tahu apa arti kata ini, tapi aku nyata-nyata merasakannya. Sungguh!
Hari-hari terus berlalu. Dan aku semakin jatuh dalam perangkap cinta baru bersama Rita. Tidak aku sadari, bahwa pergantian sekon ke detik, detik ke menit, menit ke jam terus mengantarkan umur kehidupanku semakin bertambah dan aku tetap berputar mengelilingi patung cinta bernama Rita. Yah! Rita yang jelita, yang sekali memandangnya membuncahkan perasaan berbunga-bunga sepanjang hari.
Rita yang sekali mencium wanginya tetap meninggalkan bekas aneka kembang selama berhari-hari. Wangi khas bunga-bunga perawan di pagi nan indah. Yang kelopaknya merah meranum berkilau diterpa cahaya mentari pagi. Paduan keindahan dunia antara kecantikan langit dan bumi menyatu dalam desiran nafas dan rotase perjalanan darah di tubuhnya. Aku terhempas dan jatuh semakin erat dalam potret kecantikan wanita ini, melebihi rasa jatuh cinta kepada wanita manapun di dunia ini.
Aku semakin bersemangat untuk mendekatinya, dan dia memberiku peluang itu sehingga persasaanku membuncahkan perasaan berbunga-bunga sepanjang hari. Hilanglah rasa letih lesu dan hidup seperti mendapatkan suntikan obat semangat dengan takaran 100 cc.
Selalu terkenang dalam ingatanku betapa lembut dan halusnya jemari bak sutra yang pernah menyentuh lenganku. Saat berjabatan rasanya jari-jari kasarku ini tidak mau melepaskan daging-daging jemarinya karena begitu nyaman kurasakan daging lembut jemari itu dalam genggamanku!!
Kala malam tiba, jantungku semakin berdesir karena menahan rindu yang teramat berat untuk bersua dengannya. Walau hanya bisa menemuinya di sela-sela waktu yang tercuri agar tidak dicurigai oleh keluarga besarnya yang menginginkannya tetap dalam lingkaran gelar bangsawan Boyratan Timbang Tanah. Ini gelar pusaka yang mewarisi darah kaum ningrat dan anak keturunan Raja dan Rita masuk dalam lingkungan itu, sehingga bagi orang biasa atau tidak bersentuhan dengan gelar adat ini dipantangkan untuk dijadikan calon suami ataupun istri.
Tapi apa arti semua gelar dan sebutan? Jika cinta telah berbicara, maka tahi kucing juga dianggap cokelat. Artinya semua kejelekan dan kekurangan tetap baik dan sempurna dimata pecinta. Maka seperti itulah cintaku dan cinta Rita bersemi. Sekalipun dalam kondisi tertentu Rita tidak seratus persen menampakkan simpati cintanya itu meluber seperti aku. Tapi aku sangat yakin, ia mencintaiku.

Rabu, 17 Februari 2010

MENCARI CINTA (PART 5)

ANAK MALU TANGGUNG RUGI

“Hidup adalah perjuangan. Dan setiap perjuangan butuh pengorbanan. Kalian harus bisa menunjukkan bahwa anak-anak dari kampung dan desa-desa pulau terpencil seperti kita juga bisa melakukan hal-hal besar dan luar biasa. Untuk itu kalian harus bertekad untuk bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Kalian harus terus sekolah. Kalian harus lanjut.”
Anak-anak kelas VI SD Negeri Kilsoin duduk terpaku di kursi masing-masing. Tidak ada satupun yang berani berbisik dan mengeluarkan suara. Alam serasa sunyi sepi. Dan kami semua sementara ditampung di dalam ruang sepi itu tanpa berdaya. Masing-masing telinga berdiri bak radar penangkap sinyal yang merekam seluruh pembicaraan Bapak Kepala Sekolah Johanis Samderubun tanpa tertinggal koma, tanda petik, tanda seru, tanda tanya hingga titiknya. Semua pasti tahu, semua pasti mengerti. Karena orang tua itu berbicara dengan sangat jelas dan terang.
“Anak-anakku! Tahukah kalian bahwa Soeharto presiden kita sekarang adalah anak seorang petani dari desa Kemusuk. Masa kecilnya jadi gembala kerbau dan karena ulet dan bersemangat untuk belajar, maka tekadnya itu mengantarkan dia menjadi manusia besar yang menjadi pemimpin bangsa ini”
“Kalian juga pasti bisa anak-anakku! Kalian harus bisa menjadi manusia. Bisa menjadi dokter agar ke depan bisa mengobati orang-orang kita yang sakit di sini. Kalian harus bisa menjadi Polisi, Tentara, Guru, bekerja di kantor dan seterusnya. Kalian harus bisa tunjukkan kepada orang Indonesia lain pada umumnya bahwa kita orang Kei dan orang Kur juga bisa! Harus ada diantara kalian yang bisa makan gaji Pemerintah!”
Aku putar leherku ke kanan, kiri dan mengamati satu persatu wajah-wajah yang ada di dalam kelasku. Mereka semuanya sedang serius mengikuti pembicaraan Kepala Sekolah. Tangan dilipat rapi di atas meja. Tatapan lurus ke depan. Mulut terkunci rapat dan semua sudah larut mernyatu dengan tema pembicaraan penting ini. Ibarat mereka adalah gula sudah lebur dan hilang wujud karena sudah larut dalam air. Tema pembicaraan itu adalah airnya!
Itulah kenangan paling indah. Saat bunga-bunga kehidupan menawarkan persahabatan dengan ramah kepada dunia. Aku pandangi fotoku sebelum masuk sekolah dulu. Ah, rasanya sudah berbeda jauh dengan fotoku yang sekarang. Sebentar lagi aku harus jatuh bangun mencari jalan untuk mewujudkan impian orang tuaku. Lulus dengan nilai terbaik dan bisa lanjut sekolah. Aku harus dapat merealisasikan pesan dan nasehat Kepala Sekolah. Harus!! Harus!! Tidak boleh tidak!
Tanggal ujian pun sudah ditentukan. Persiapan hebat tengah digelar. Semua keluarga patungan mengumpulkan dana dan bekal. Kue berbagai jenis dan ukuran mulai disiapkan. Kambing jantan ukuran empat ratus lima ratus ribu mulai ditambat di pohon kelapa di samping rumah. Beras 50 kg dua tiga karung sudah didudukkan dalam rumah. Orang sekampung mulai sibuk, ada yang bawa limya buah pisang satu sisir, minyak kelapa satu botol, kayu bakar satu ikat, uang sesen dua sen rupiah buat tambah-tambah bayar utang atau beli kopi gula dan keperluan dalam ujian nanti.
Tinggal menghitung hari. Pesta besar bernama Ebtanas atau evaluasi belajar tahap akhir nasional sudah menunggu dengan dentuman lagu dangdut dan irama lagu Minangkabau sudah mendayu-dayu, onde’lamanyo ko la sara bi sarabi…onde’lamanyo ko la sarabi sarabi!! Yah, itu irama lagu Fetty dan Asben yang sudah merambah di negeriku dan hampir dihapal ratusan anak-anak kampung dengan Tep merek Sikko butut berbaterei enam atau delapan milik abang-abang atau om-om yang biasanya pulang merantau dari Irian Jaya (sekarang Papaua) dan Ambon.
Inilah dia pesta besar-besaran sebagai bentuk rasa syukur yang salah alamat kalau tidak dikatakan sebagi perbuatan mubazir jika anak-anak sedang mengikuti ujian akhir sekolah dasar pada masaku. Warga mulai dari Desa Kaimear di pulau paling utara Kur sambung menyambung ke pulau ibu Lokwirin, Finualen, Tubyal, Sermaf, Kanara, Warkar, Yapas, Rumoin, Fitarlor, Ngurmaloos, Hirit sampai tiga kampung Tiflen, Niela dan Fidol di dua pulau paling ujung di selatan Kur yaitu Mangur Fadol akan berkumpul di kampung Sermaf untuk merayakan pesta ulang tahun Ebtanas. Terpampang spanduk di jalan masuk kampung SELAMAT DATANG PESERTA EBTANAS. Tapi sayangnya engkau muncul dengan membawa segudang hutang. Batinku menggerutu ketika membacanya!!
Betapa bergengsinya pesta ini dirancang, sehingga esensi acara ujian nasional murid sekolahnya lebur dalam hingar bingar suara musik yang mendayu-dayu. Dari salon-salon raksasa yang memecahkan gendang telinga. Dimana hentakan kaki-kaki maju mundur merontokkan esensi lembar demi lembar halaman ilmu yang didapatkan di sekolah. Aku saksikan dengan mata kepalaku. Teman-teman yang sempat turun lapangan untuk berjoget ria setelah paginya harus masuk kelas untuk ikut ujian. Sebuah praktek ujian yang ganjil. Bukannya malam hari belajar keras untuk bertempur dengan soal keesokan harinya malah ikut berjoget ria. Gila!!
Mereka yakin dengan servis terbaik orang tua murid kepada guru-guru dan pengawas ujian yang datang dari Tual. Nilai ujian pasti istimewa dan paling tidak lulus saja. Persoalan mati hutang setelah ujian itu urusan belakangan. Yang penting anak ujian bisa diantar dengan deretan kue aneka warna, bau, bentuk dan cita rasa. Ada kue bolu, kue lontar, kue kering beragam bentuk, kue basah, kue tar dan macam-macam nama yang tidak perlu dihitung.
Nilai ilmu dalam ujian malah bergeser kepada persaingan pamer bentuk kue dan cita rasa masakan. Siapa yang suguhan daging kambingnya memenuhi isi piring dewan guru dan pengawas? Siapa yang atlutak -nya ditaruh antero memenuhi dalam piring kepala-kepala desa? Siapa dan siapa? Pemberi service atau layanan terbaik akan memperoleh nilai terbaik! Aku tidak tahu untuk apa penilaian model ini? Apakah hanya sekedar muslihat dari guru tertentu dan pimpinan kampung untuk terus menerus melanggengkan praktek ujian model ini biar tiap tahun harus ada pesta makan minum dalam jumlah besar? Wallahu a’lam. Aku tidak tahu! Aku tidak paham sampai hari ini! Yang jelas, ujian SD ini hampir dua kali lipat lebih meriah dan mahal dari pada acara Wisuda Sarjana di Perguruan Tinggi.
Tahukah saudara, ternyata praktek mubazir seperti inilah yang kelak membuat anak-anak di Pulau Kur ini tidak bisa melangkah ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi karena setiap selesai ujian orang tua murid langsung mati dililit utang piutang. Ujian murid SD berubah menjadi ajang untuk melilit leher para orang tua dengan tali utang. Begitu ujian usai, orang tua murid ini tinggal menuruti tali kekang yang melilit tenggorokan menuju tempat penyembelihan. Jatuh bangun bayar utang. Sadis memang!
Orang tua nekat menggadai dusun dan tanaman bukan untuk kelanjutan pendidikan si anak, tetapi justru untuk membiayai Ebtanas yang tidak terakomodir dalam aturan kurikulum itu. Ini aturan siapa? Kenapa tidak ada yang menggugatnya? Ah, orang kapung! Taunya hanya terima nasib tidak bisa protes. Apalagi berontak! Bisa-bisa dicap Komunis seumur hidup!
Apakah orang-orang ini pernah berpikir tentang tindakan bodoh ini? Bahwa andaikan biaya dan benda yang ada dikumpulkan untuk pendidikan lanjutan anak-anak pasti lebih memadai? Lebih dari satu tahun atau bahkan mungkin dua tahun dan tiga tahun sekaligus. Berarti biaya untuk dapat masuk ke SMP sudah dipakai habis untuk menyukseskan pesta foya-foya itu? Ya Tuhan!
Aku bersyukur kepada Tuhan, karena disamping lulus dengan nilai terbaik aku bisa melanjutkan pendidikanku pasca ujian tersebut tanpa sempat mengalami makhluk busuk bernama pengangguran. Dengan jatuh bangun aku merajut benang harapan itu diawali dari bangku Madrasah Tsanawiyah Ambon, SMP Alhilal Lokwirin hingga tamat di Madrasah Tsanawiyah Swasta Makara Pulau Kur. Dengan susah payah menanggung beban. Tapi aku berusaha dekat dengan Tuhan. Aku punya do’a! aku punya Dia yang punya segalanya. Keyakinanku bersemai kuat dan mengantarkan langkahku selamat menapaki kerikil-kerikil berduri dan meraih garis finish dengan seulas senyum bahagia. Lulus ujian Sekolah Menengah Pertama.
Tapi bagaimana nasib selanjutnya? Apakah aku bisa sekolah lanjutan atas di Tual? Ambon? Papua? Dari mana biayanya? Dengan apa aku ongkosi studiku? Jadi misteri. Gelap dan hitam pekat tidak terjawab!!
Pertanyaan yang membuatku kembang kempis. Aku adalah anak kampung. Pengalaman merantau tidak ada. Sekali aku keluar daerah yaitu ketika bertepatan lulus ujian dan melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Ambon. Tapi itu sudah empat tahun lalu. Lagi pula waktu itu aku masih seperti rusa masuk kampung. Pengalaman berinteraksi dengan anak-anak kota belum seberapa. Karena hanya satu tahun aku harus pulang kampung karena konflik keluarga antara ayah dengan keluarga ibu. Pamanku yang adalah saudara ibu memulangkan aku ke kampung. Tamatlah riwayat pergaulanku dengan teman-teman beragam etnis di Ambon. Dengan Husein Bulla, Larajak, Arsad Wally, Wahyuni Ohorella, Saripa, Abdul Gafar Lestaluhu, Misna dan lain-lain.
Hilanglah sudah senyum tulus Larajak lelaki tinggi kurus yang selalu periang dan menyapaku ramah. Lenyaplah sudah wajah Husein Bulla yang santun. Oh, Tuhan kenapa jadi begini? Pertanyaan yang tidak terjawab selama kuajukan. Hanya kelam dan hitam legam yang balik menyergap. Aku tidak tahu.
Syukurlah dalam setiap kebingungan pasti hadir solusi. Aku kemudian diterima masuk bangku Madrasah Aliyah Negeri Tual. Aku bisa melanjutkan pendidikanku. Sementara itu pesan Kepala Sekolah Dasarku tempo hari terus mengiang-ngiang kembali di gendang telingaku. Aku harus bisa. Aku harus selesaikan pendidikan menegah atasku. Apapun yang terjadi. Dengan izin Tuhan tiga tahun berlalu aku juga berhasil meraih kelulusan dari sekolah Islam ini dengan selamat. Aku pulang kampung dengan membawa Ijazah tanda tamat belajar. Alhamdulillahi robbil’alamin.

MENCARI CINTA (PART 4)

MASA-MASA BAHAGIA

Inilah duniaku. Aku menikmatinya dengan segenap jiwa dan raga. Menyatu dengan laut dan darat di pulau Kur. Akulah bunga-bunga pohon Bintanggur pantai yang bersemi disaat musim barat tiba. Akulah asap-asap daun Kenari yang mengepul dari wajah-wajah bocah ceria yang asyik menggoda hari-hari. Akulah bunga-bunga liar yang kelopaknya menggelitik jiwa! Akulah ombak dan kole-kole mungil yang naik turun dihempas ombak karang yang garang. Akulah ketua barisan burung Pombo yang terbang dibawah angkasa biru pagi keemasan menuju laut lepas untuk bermetamorfosis menjadi ikan terbang. Akulah sejuta keindahan yang bersemai di bawah kolong langit. Di atas bumi nan indah permai bernama Ngurmaloos.
Tatkala musim berganti, maka Akulah makhluk yang selalu bermetamorfosis menjadi ciptaan-ciptaan Tuhan yang baru untuk terus berdialektika dengan zaman, terus menyesuaikan emosi dan jiwaku untuk tetap menyatu dengan alamku. Tapi saat itu, Aku tidak tahu untuk apa semua itu kulakukan. Aku belum bersentuhan dengan teori evolusinya Darwin yang spektakuler itu untuk kujadikan alasan. Yang ada di benak kecilku hanyalah agar Aku terus mengada, mem-being dan terus merealitas. Hidup adalah keceriaan, ibarat kelopak bunga matahari di pagi nan indah memantulkan warna kuning keemasan yang menghadirkan sejuta makna keindahan tertinggi miliki Allah Rabbul Izzati.
Hidup hanya melihat ke dalam diriku. Aku tidak perdulikan keadaan di luar, walau yang disebutkan sebagai sesuatu yang di luar itu adalah pakaian dan tempat tinggalku, rumahku, orang tuaku dan semuanya yang selalu berhubungan denganku. Tapi sama sekali ini bukan egois, bukan pula individualis. Aku sadar, aku hidup dengan membawa cinta paling hebat untuk merengkuh semua kehidupanku menjadi indah. Dan itu, terlaksana melalui dialektika multi hubungan baik dengan semua objek ciptaan Tuhan. Dengan manusia, hewan, tumbuhan maupun benda-benda mati. Aku jadi insan pemimpi yang selalu mengimpikan kebahagiaan dan keceriaan.
Masih terpatri diingatan, kala musim laut yang teduh. Permukaan laut Banda yang melingkupi hingga Pulau penghasil Kenari dan Pala ini akan tampak sebening pemukaan kaca yang licin. Apalagi diwaktu pagi hari dimana nuansa dunia terasa masih perawan ting ting belum dijamah tangan-tangan jahil perusak bumi. Keindahan kanak-kanak itu tidak ada duanya. Ibarat penghuni Taman Firdaus yang lengkap menikmati fasilitas surga. Batin anak kampung ingusan sepertiku hanya selalu ingin untuk menyelam, larut, tenggalam dan timbul untuk mengejar keceriaan. Kebahagiaan yang tidak akan terulang kedua kali dalam hidup.
Ketika perahu-perahu layar dari Seram, Gorom, Kesui, Teor atau pun dari Tayando dan Tam atau Mangur Fidol berlabuh di tanjung Belya Tutin, kami anak-anak kampung selalu berebutan dengan kole-kole kecil seukuran satu atau dua orang untuk bisa menggapai pipi perahu-perahu itu. Perahu layar itu Ibarat Pangeran tampan Khusrau yang berlabuh gagah di atas permukaan laut yang mengaca di pagi indah, maka kole-kole itu adalah gambaran Syirin si tuan putri Persia yang sangat molek dan cantik yang tidak tahan dengan hasratnya untuk segera menyentuh pipi sang pangeran. Dengan menyentuhnya kebahagiaan jadi utuh dan cinta jadi menyatu keindahan jadi lengkap dan lahirlah keceriaan. Inilah obsesi sepanjang hidup makhluk mungil bernama anak-anak kampung.
Dari atas tubuh perahu yang gagah, kami bisa memandang tembus ke dasar laut yang beraneka warna. Tampak terumbu-terumbu karang yang menyerupai payung-payung dalam film animasi Si Unyil. Ikan beraneka warna dan bentuk dan ukuran berlarian kesana kemari mengejar dan sesekali mematuk lumut dan plangton kecil di atas permukaan payung lautan yang tidak lain adalah terumbu karang itu menambah lagi daftar referensi keindahan yang aku pahami. Ternyata kehidupan di lautan sana juga menyimpan bergudang-gudang kecantikan. Pantaslah orang-orang bule itu suka menghabiskan waktu dengan rela memikul tabung-tabung oksigen menyamai seperdua tubuh mereka untuk menyelam dalam lautan. Pasti mereka juga selalu ingin untuk menyatu dengan keceriaan hidup. Bahagia!
Di waktu sore atau senja, aku dan teman-teman akan mendayung kole-kole itu melewati Fitlar, Wermasa, Keltif dan lalu mendarat di Fatsira dan atau di Tutin melewati Faut Kapuin untuk memuat buah Labu, Semangka dan Kelapa. Tapi itu hanya disaat keadaan laut sedang teduh. Perhitungannya kalau musim sedang dalam proses pancaroba. Sebab laut akan selicin kaca. Cuaca alam cerah ceria, dan dunia seperti dalam lukisan taman Firdaus dan Aden. Di saat seperti itu Aku paling suka merambah laut agar bisa menyaksikan ikan-ikan yang berlarian dibawah kole-kole. Melihat terumbu karang yang cantik memikat hati. Juga di saat seperti itu, daratan sepanjang Faut Kapuin hingga Fitlar akan diterpa cahaya kuning kemerahan matahari yang hendak menuju peraduan. Sebuah pemandangan klasik akan muncul, dan lukisan indah Tuhan menyemburat di atas kertas dunia yang bernama Pulau Kur. Begitu indah, menawan, elok, dan entah apalagi nama yang disebutkan untuk melambangkan rasaku. Aku tidak bisa menuliskannya secara utuh. Itulah waktu-waktu dimana keindahan dan keceriaan bersemi dalam bingkai kebahagiaan yang tidak mampu terlukiskan.
Masa kanak-kanak, masa indah penuh ceria. Aku menikmatinya dengan sepenuh hati hingga usiaku genap sepuluh tahun. Sebenarnya memasuki seperempat umurku waktu itu, ada unsur yang mulai berkurang dalam kelengkapan komponen kebahagiaan dan keceriaan kekanak-kanakanku, yaitu kembalinya Ibunda tercinta keharibaan Ilahi.
Ibu meninggal dunia, disaat aku masih duduk di kelas IV Sekolah Dasar. Di saat-saat paling menentukan bagi seorang bocah sepertiku untuk memperoleh sokongan dan semangat dari manusia yang pernah mengandung dan melahirkanku ke dunia ini dengan taruhan nyawanya. Ia tidak sempat melihat secara utuh prestasi anaknya ini di sekolah yang selalu menyabet peringkat istimewa untuk tiap kali kenaikan kelas hingga lulus dengan nilai tertinggi untuk keseluruhan anak-anak SD di Pulau Kur.
Ibunda hanya sempat menikmati bahagia ceritaku waktu duduk di Kelas II SD Negeri Kilsoin yang waktu itu diminta oleh Guru Bahasa Indonesia Bapak Renhoran untuk membaca sebaris tulisan di papan tulis Kelas III yang berbunyi;
“ini Badu, Badu duduk disamping Ayah”.
Rupanya tulisan kalimat itu tidak bisa dibaca oleh sebagian anak-anak yang dalam hierarki ilmu merupakan kakak-kakak seniorku. Maka sebagai imbalannya Aku diberi mistar kayu panjang oleh guru tersebut dan kemudian menghajar anak-anak kelas III yang berotak bebal itu secara bergantian.
Ibuku tertawa mendengar kisahku dan menyemangatiku; “Belajar teruslah anakku!”
Kini, keindahan masa itu telah berlalu. Aku sudah dewasa, dan hanya bisa mengenangnya sebagai pengalaman terindah hidup yang pernah kujalani. Aku merindukan untuk terus menikmati hidup sebagai kanak-kanak, yang tidak terpengaruh dengan hiruk pikuk kesulitan yang mendera. Sebuah dunia mimpi tetapi sesungguhnya pernah nyata dalam hidupku. Pernah menyentuh jiwaku! Masa dimana kembang aneka warna dan jenis mekar meliuk-liuk diterpa angin pagi bersama semilir angin sepoi yang bertiup dari ujung Faut Kapuin dan Tanjung Belya Tutin.
Tidak akan terulang lagi kisah itu. Dan hanya meninggalkan bekas kenikmatan yang selalu kukenang.

MENCARI CINTA (PART TRHEE)

NAMAKU MUHAMMAD SOBARUDDIN

Seperti sudah kukatakan, Aku adalah gumpalan kebingungan. Aku adalah wujud gelap dibalut misteri. Seingatku, aku dilahirkan di negeri yang konon dikatakan sebagai negeri awal pemancangan tiang ka’bah di bumi. Negeri sebagian waliyullah yang menyandang gelar wali ghaib penghuni dua bukit kembar yang kini diberi nama Makaraa dan Baluktufin.
Makaraa menurut bahasa artinya Makkah yang lama, dan Baluktufin artinya ujung persegi empat balok kayu yang melambangkan empat tingkatan pencarian kebenaran ilmu dalam ajaran dienul Islam yang dinamakan syari’at, tarekat, hakikat dan makrifat.
Pulau ini diberi nama Pulau Kur, kelengkapan atribut nama sebagai negeri suci yang melahirkan agama Muhammad Saw dalam pengertian sinonim atau harfiahnya. Kur adalah identik Al Qur’an yang menjadi pedoman hidup bagi orang-orang beriman. Orang-orang yang percaya kepada yang ghaib, yang mendirikkan shalat dan menafkahkan harta, tenaga, pikiran, jiwa dan raga mereka untuk menegakkan kebenaran Tuhan di bumi.
Inilah sebuah arti yang kurang lebih mengendap dalam memori ingatanku tentang sebagian definisi yang kelak mengantarkan langkah pencarianku menuju pengenalan siapa sesungguhnya aku. Aku yang terus bingung dan tidak tahu. Ibarat kata Imam Syafi’i semakin terus kucari arti sesuatu maka semakin aku tahu bahwa masih banyak yang belum aku tahu dari arti sesuatu itu. Itulah aku, aku yang makin tahu bahwa aku tidak tahu.
Di sini, masih di bawah Kel Pajamaran di kaki Saraib Halen dan Saraib Hafek. Di samping himpitan bebatuan raksasa. Aku melonjorkan kaki dan membiarkan mataku terkatup. Suasana alam yang hening sejuk nan sunyi pada senja hari. Di atas bebatuan cadas ditemani sebuah makam kuno seorang Waliyullah yang di masa hidupnya selalu menyemarakkan ibadah di sepenggal daerah yang dianggap sebagai tempat angker hunian makhluk-makhluk halus itu. Aku mulai mengingat tahapan demi tahapan yang aku lalui dalam sejarah hidupku. Pertanyaan yang selalu mengemuka; siapakah aku sebenarnya?
Aku dilahirkan pada hari Rabu, mengikuti hari kelahiran Nabi Nuh ‘alaihissalam, tepat pada tepi pertemuan dua waktu siang dan malam di Desa Ngurmaloos dari pasangan suami istri yang masih keturunan Sinen dan Leba Surein. Darah anak semata wayang Sinen bernama Boiratan dan suaminya Haji Muhammad Thaib Rumagorong mengalir dalam nadiku. Ayahku bernama Muhammad Bahrul Ulum, dan ibuku bernama Aisyah.
Aku titisan darah Haji Injil Karit yang disebut Haji Maninggal yang merupakan keturunan Qua, satu ketua kabilah yang menyimpan banyak kepeng dan harta benda kuno pada masanya. Nenekku Haji Muhammad Djen adalah penganut jalan Sufi yang bacaan Fatihahnya diakui kefasihan tajwid dan tartilnya oleh sang Syech di tanah Mekkah, dan oleh yang mulia Habib Alidrus ia menyuruh semua imam-imam kampung Kur untuk berguru Fatihah kepadanya. Neneknya Leba Surein adalah manusia aneh yang dikisahkan shalat di dua tempat dalam sekali waktu. Jika magrib ia dilihat rukuk sujud di Kampung Hirit, maka orang-orang di Ngurmaloos juga melihatnya sedang rukuk sujud pada waktu yang sama. Kebunnya di Weer Kelmurin yang dipenuhi pohon pinang adalah saksi bisu yang menjadi plesetan nama orang kepadanya; Leba Surein, Imam sableng alias sinting. Bukan lantaran ia tidak waras, tetapi karena kedapatan melakukan hal-hal yang dalam istilah tasawuf disebut sebagai karomah atau kejadian-kejadian aneh di luar batas normal manusia biasa. Termasuk dalam kategori kejadian harriqun lil adat. Betapa tidak, untuk mengambil buah pinang pohon tinggi lurus bak tiang listrik itu tinggal digamit dengan tangannya, dan saat itu juga pohon itu condong ke arahnya dan ia tinggal memetik buahnya sesuka hati.
Nenek moyangku adalah orang-orang yang memegang teguh prinsip agama dan kehormatan hidup sebagai orang Islam yang beradat beraturan.
Haji Injil buyutku itu adalah satu-satunya orang Kur yang sukses berhaji ke Tanah Suci dengan membawa nenekku yang kala itu masih berusia belia di tahun 1800-an. Di sana, di bumi Allah yang suci Mekkah Al Mukarromah buyut dan nenek telah berdo’a! Do’a sebagaimana Nabi terkasih Allah Ibrahim dan Ismail alaihissalat wassalam berdo’a; agar anak cucu mereka kelak diberikan kekuatan untuk selalu taat di jalan-Nya. Satu hal paling istimewa; buyut ternyata pergi haji terus untuk selamanya. Ia tidak kembali lagi ke Kur. Ia sudah menemukan inti dari segenap pencarian, dan ia telah kembali ke hadirat Kekasih alam raya, Allah Swt. Ia dikebumikan di pemakaman Baqi Kota Suci. Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
Orang tuaku menamaiku Muhammad Sobaruddin disingkat jadi Sobar, yang diambil dari kalimat Arab yang berarti orang sabar dalam beragama dan terpuji. Sebuah nama yang diharapkan dapat menaungi pemiliknya agar selalu bersabar dalam menghadapi penderitaan dan ujian hidup. Selalu berakhlak terpuji. Bagaimana pun sebuah harapan keimanan kepada Tuhan mengemuka dan ikut andil dalam mempengaruhi penyematan nama itu ke pundakku. Sobar….wallahu ma’asshaabiriien, dan Allah selalu bersama orang-orang yang sabar. Begitu kira-kira doktrin keilahian yang menjadi pegangan orang tua, tete nenek dan semua paman bibiku yang menyaksikan bayi mungil kemerahan tanpa nama dan busana lahir dari rahim wanita yang setelah itu kuakui sebagai ibundaku!
Yah aku Sobar, aku lahir dari rahim bunda melewati tahapan kegelapan demi kegelapan. Dari alam roh yang tinggi hingga menyamai wujud di alam penampakan yang dinamakan alam jisim atau alam ajsam dalam bentuk jamaknya. Aku lahir dengan membawa segudang kesibukan buat dua makhluk bernama ayah bunda! Mereka sudah rela menerima resiko merawat dan memeliharaku hingga mencapai usia Balita, anak-anak, remaja dan dewasa. Aku lahir dengan mewarisi segudang kelemahan, dan yang paling ekstrim dari segenap kelemahan itu adalah ketidaktahuanku tentang diriku sendiri. Aku merasa bahwa ayah bundaku, namaku Sobar dan berbagai atribut yang disematkan di pundakku dan juga kepada orang-orang lain dan alam sekitarku sekarang ini hanyalah sesuatu yang baru dan tidak asli. Hanya sematan, yang sementara sifatnya. Namun ada satu pertanyaan yang tidak henti-hentinya mengusik diriku adalah kenapa perasaan ini memendam rasa “cinta”, apakah arti kata ini? Apakah ia sama dengan arti langit yang melahirkan kebingungan? Wah rasanya cinta lebih berat lagi untuk aku definisikan, karena ia melekat di sini, di dalam diriku tapi aku tidak tahu apa warna dan bentuknya!
Mataku makin terkatup dan semua konsentrasi kubiarkan mengembara tanpa arah. Lha, memang di dunia pikiran dan rasa itu tidak ada arah yang bisa dipakai buat mengukur tinggi rendah, atau memilah warna hijau, merah, kuning jingga dan seterusnya. Yang ada hanya kebingungan, ketidaktahuan. Tapi aku percaya aku ada, cinta ada, dan semua ada karena aku merasakannya. Rasa tetapi bingung dan tidak tahu bagaimana aku menuturkannya pada semua orang, termasuk diriku sendiri. Disinilah jawaban terakhir itu selalu muncul, cinta adalah ketidaktahuan.
Terkadang aku biarkan sukmaku mengembara liar kemana-mana tanpa pemandu. Kubiarkan ia melompat, menukik, memanjat, menelantang, jongkok, jatuh bangun dan mengintip setiap sudut dan ruang yang bisa kupahami, untuk mencari apa itu cinta. Pada sudut-sudut ruangan yang menghimpun dua insan beda jenis kelamin suami istri lalu memperhatikan adegan demi adegan mulai dari yang biasa hingga yang luar biasa, dari sekedar cumbu rayu hingga pencapaian titik klimaks orgasme, lalu pada janin yang mengendap di dasar rahim sang bunda hingga siap lahir bersama ketuban ke alam dunia.
Aku terus menguntit makna cinta dan mencari wujudnya di sana. Pada rintihan pertama bayi “aaa” dan “iii” hingga “uuu”. Aku selektif memandangi wajah tiga insan, bayi, bunda dan ayah lalu menghubungkan garis linear tiga hati ibu ayah dan anak itu dalam satu teropong untuk mencari warna cinta. Pada wajah ayah yang menunggu kelahiran sang bayi dengan harap cemas. Pada wajah ibu yang lemas terkulai seusai melahirkan. Pada bayi yang menangis dan menjerit. Tapi apakah cinta? Untuk ibunda mungkin bisa dimaknai dengan rasa. Begitu pula untuk ayah. Tetapi untuk bayi? Dari mana aku mengukur bahwa bayi punya rasa cinta? Seperti apakah itu? Aku tidak tahu! Aku tidak paham! Aku bingung.
Aku harus kembali ke Ngur Maloos. Kuturuni lembah bebatuan cadas dan terjal di Kaki Saraib Halen, lalu tergopoh-gopoh berjalan menyusuri jalan raya selebar satu hasta orang dewasa dan terus berjalan menungging gelap malam berpacu sisa-sisa sinar mentari di ufuk barat yang masih berpendar.
Permukaan laut menghampar bagai kaca raksasa! Beberapa nelayan kampung sedang mendayung kole-kole mereka dengan tidak jemu! Mereka mengejar rizki di laut lepas dengan menyungging senyum beradu dengan gelapnya malam yang menenggelamkan wujud mereka dalam gulita! Subhanallah.

MENCARI CINTA (PART TWO)

AKU ADALAH KEBINGUNGAN


Aku tidak tahu siapa nama asliku dan siapa sesungguhnya nama asli kedua orang tuaku yang sebenarnya. Karena Aku baru menghirup udara dunia ini setelah mereka lahir terlebih dahulu. Sebelumnya Aku tidak tahu, apa, siapa, dimana, mengapa dan bagaimana Aku yang sesungguhnya. Aku datang dari kegelapan melewati tiga lapis kegelapan dan pemahamanku buta tentang makna dan arti kehidupan. Aku hanyalah sekelumit debu yang membaur dalam dunia yang luas tak bertepi. Namaku Muhammad Sobaruddin disapa Sobar, adalah sebuah pemberian orang tuaku! Aku yakin itu bukan namaku yang asli, karena nama itu baru disematkan ke pundakku setelah tujuh hari aku mereguk udara bumi ini. Aku lahir tanpa nama. Namun satu yang aku percaya adalah bahwa Aku lahir sebagai manusia. Tapi siapakah manusia? Aku tidak tahu.
Tatkala kupandangi angkasa raya, mataku disilaukan dengan semburat tajam cahaya mentari yang menyerang retinaku tanpa ampun. Aku silau, dan bertambah bingung memaknai langit. Ia kah mentari itu? Ia kah mega aneka warna itu? Ia kah deretan burung camar yang terbang tinggi itu? Ia kah sebongkah besi yang menderu menabrak gumpalan-gumpalan mega itu? Aku tidak tahu apa-apa. Yang aku tahu hanyalah bahwa memang aku tidak tahu.
Tatkala malam tiba, aku juga ingin menguji kembali hipotesisku diwaktu siang tentang arti langit. Kenapa kini ia berwarna hitam pekat? Manakah langit itu? Ia kah bintang gemintang yang bertaburan laksana mutiara tercecer di angkasa raya di sana? Ia kah bintang kemukus di sana? Atukah ia yang dinamakan rembulan. Tapi kenapa rembulan sendiri selalu berubah, dari bentuk pelepah kering, menanjak jadi sabit, setengah bola kempes, membulat setengah jadi hingga sempurna lingkarannya pada malam empat belas hari, lalu kembali lagi ke tahap awal dan akhirnya hilang ditelan gulita malam meninggalkan pernak pernik kemilau langit berhias paduan cahaya gemintang. Manakah langit? Aku semakin sadar dengan pengetahuanku bahwa memang aku tidak tahu.
Kali ini, aku harus merelakan waktuku untuk pergi menatap laut. Di sana, di pantai Faut Kapuin, dibawah kaki Kel Saraib. Tepat pukul setengah enam senja. Di kala petani-petani kampung sudah balik dari mengurus sawah dan kebun. Aku memilih mengambil jalan pantai melewati bebatuan yang terjal, cadas dan berduri. Aku ingin agar tidak ada seorang pun yang ikut denganku dan menyaksikan kebingunganku dalam mencari definisi dan arti serta hakikat langit. Sebab pada matahari serta rembulan tidak kutemukan arti langit itu. Pada mega biru dan carut marut warna gelap angkasa malam, barisan dan gugusan bintang sampai pada hempasan meteor yang menggaris langit bertambah seru sebagai lambang laknat penduduk langit mengusir simakhluk durjana bernama Izzazil Iblis laknatullah’alaihi, satu pun tidak mewakili arti langit secara utuh.
Aku tidak melihat arti langit itu di sana, selain kebingunganku. Yah! Barangkali langit itu adalah ketidaktahuan. Justru itu, semakin didekati semakin bertambah tidak tahu. Semakin didalami semakin jauh dasar semudra makna yang hendak disentuh. Langit adalah misteri. Itulah kesimpulanku pada kali ketiga. Di pantai Faut Kapuin di bawah kaki Saraib.
Aku berputus asa dengan pengalaman mencari arti langit. Ku ulurkan kedua kakiku di atas kerikir-kerikil putih yang berserakan di pantai dan membiarkan paru-paruku terus menghirup masuk keluar oksigen sebanyak-banyaknya. Sebuah proses yang tidak kusadari, tetapi terus berjalan mengikuti sebuah irama misteri alam gaib. Apakah arti langit? Langit itu adalah lapisan demi lapisan kebingungan yang harus ditundukkan dengan penyerahan diri. Pasrah dan larut dalam zikir dan ibadah kepada Tuhan. Inilah kesimpulan arti langit setelah jatuh bangun aku berusaha mencari definisinya yang pas menurut pemahamanku.

NOVEL MENCARI CINTA (PART ONE)

Matahari belum merasakan teriknya secara penuh ke bumi. Ia masih memantul tiga empat sentimeter di atas permukaan laut yang terbentang luas. Konon, di atas lautan itu, para saudagar dan pelaut asing pernah menghirup aroma wangi Kae Kasaba yang harumnya mencucuk hidung. Di atas laut itu pula pernah Belanda menyeberangkan Guci Pusaka Gunung Makara dengan Kapal mereka. Orang-orang menamai laut itu dengan sebutan Laut Banda. Ia membujur mulai dari Pulau Seram lalu melingkar dan membalut Pulau Banda hingga pulau kecil berukuran sekitar 34 Km bujur sangkar di ujung Nuhu Evav (Kepualauan Kei) yang disebut-sebut sebagai Pulau Kur.
Orang-orang kami yang lahir dan besar di sini bangga menjadi penghuni pulau ini karena setiap saat dan waktu selalu bisa menyaksikan matahari terbit dan terbenam dengan mata kepala tanpa bantuan alat teropong. Begitu juga dengan Aku! Pekerjaan paling kusenangi adalah menjadi penghobi memandang matahari terbit dan tenggelam.
Hampir semua tempat penada tetesan cahaya keindahan matahari di Pulau ini sudah kudatangi; mulai dari Pantai Fitlar Wermasa, Faut Kapuin, Tutin, Dangar, Ngur Maloos, Koor, Tut Woen, Wer Kanara, Wer Pamonak, Lian Fatan, Bal Alfuil, Pemur, Yamtel, Nukus, Fat Buak, Kanara, Yapas, Rumoin, hingga Belya Tutin.
Aku punya banyak koleksi lukisan matahari terbit dan terbenam dengan latar belakang lautan dalam berbagai suasana. Pada waktu tertentu lautan kulukis tenang bagai kaca dan memantul kemilau cahaya kuning keemasan, kadang dengan warna merah membara. Diwaktu yang lain gambar matahari kutoreh berbentuk redup kelam dengan latar gelombang laut yang hitam kelam.
Bumiku memang menyimpan banyak misteri yang belum terkuak. Hanya cerita tutur tinular sambung menyambung dari lidah orang dolo-dolo hingga sedikit kaku dan tersengal di lidah anak-anak zaman moderen sekarang ini. Jika cerita generasi awal tentang negeri Kur yang keramat dituturkan oleh orang tua-tua, rasanya telingaku nikmat sekali mendengarkannya, karena biasanya selalu dibumbui dengan pantun dan aneka rempah kata-kata yang penuh hiperbola dan perbandingan. Sementara jika cerita itu dituturkan oleh anak-anak atau generasi sebayaku, rasanya aku kehilangan selera mendengar karena selain hambar di telinga, juga dikarenakan banyak pola tingkah laku mereka yang tidak menjadi penyedap masakan tutur kata yang tersajikan.
Orang tua-tua dolo selalu menjaga diri, menjaga hak orang lain, menjaga adat-aturan dan selalu taat beribadah! Kalau mengaji Alqur’an biasanya berjam-jam. Apalagi saat malam hari selesai Shalat Isya biasanya mereka baru tamat atau shadaqollah ketika larut malam. Makanya, ucapan kata Kur keramat di lidah mereka sangat terasa nikmat. Berbeda dengan lidah anak muda yang doyan berbohong dan terbiasa dengan kata-kata kotor dan cabul. Seribu kali menyebut Kur hanya menghasilkan kejengkelan di telinga.
Kini, populasi generasi tua sudah semakin berkurang dan posisi mereka diambil alih oleh generasi muda! Banyak diantaranya yang sudah mengenyam pendidikan moderen dan tidak pernah tertarik lagi untuk menggali khazanah kebudayaan Kur masa lalu yang penuh nilai. Mereka berangkat untuk menuntut ilmu ke Tual, Ambon, Papua, Ternate, Makassar bahkan ke Jakarta Ibu kota negara ini. Sayangnya, tidak ada satu pun buku yang ditulis untuk mengenang negeri ini. Sebagian mereka bangga mengklaim diri sebagai orang asing, berbahasa dengan logat kejawa-jawaan atau bahasa Indonesia tinggi yang membuat orang kampung kami jadi kagum sekaligus bingung.
Kagum karena ternyata ada orang Kur yang sudah jadi orang hebat di rantau orang. Punya titel, kerja di departemen, punya rumah dan mobil mewah dan seabrek sematan lain. Bingung karena bahasa yang dituturkan kaum berpendidikan itu tidak dipahami oleh orang kampung yang rata-rata kemampuan berbahasa Indonesianya masih dibawah standar. Lebih celaka lagi, diam-diam ada juga sebagian orang Kur yang sampai hati menggantikan fam/ marga dengan nama yang lebih keren di rantau di sana biar dianggap sejajar dengan kelompok-kelompok elit yang sudah tersohor dan berpengaruh di luar daerahnya!
Marga Sirfef, Kilwakit, Karit, Boyratan, Fidmatan, Rumagorong, Maswatu, Rettob, Letsoin, Tatroman, Mafinanik, Yamko, Marananik, Rumatiga, Sarcol dan lain-lain dianggap hanya bagian identitas yang tidak penting milik warga di kampung yang hanya jadi pelengkap penderita. Membawa keluar marga itu dari kampung saat merantau hanya prinsip orang kampungan. Menyandang marga itu di tengah-tengah komunitas luar terasa ganjil dan mengganggu penampilan, maka dengan enteng dipangkas saja dan diganti dengan sebutan lain-lain. Biar status sosial jadi naik dan dipandang sebagai kelompok orang terkenal dari Kota. Sungguh kacang lupa kulit kata pribahasa!
Negeri kami menyimpan banyak misteri. Salah satunya kepercayaan warga akan penghuni siluman yang menjadi penunggu dua bukit kembar Gunung Makara dan Gunung Baluk Tufin. Sebuah kepercayaan yang berurat berakar sekian lama sepanjang sejarah! Bukan tidak ada, tetapi ada! Dan itu dianggap oleh warga sebagai penjaga dan pemagar kampung setiap ada bahaya yang datang mengancam.
Ini sebuah fakta yang bagi sebagian orang Kota perlu dibuktikan secara ilmiah, tetapi apakah itu yang namanya ilmiah? Masyarakat kami di kampung tidak mengenal kata ini. Ia baru dipopulerkan oleh kelompok generasi berpendidikan yang menuntut ilmu di kota-kota dan pulang kampung saat liburan tiba. Orang tua-tua di kampung cukup meyakini, bahwa penunggu Gunung Makara dan Pulau kur itu ada dan selalu siap dua kali dua puluh empat jam untuk menjaga negeri. Jika ada bahaya yang mengancam cukup ditengarai dengan menaruh sirih pinang atau tembakau kampung sekedarnya untuk syarat melibatkan roh-roh halus itu dalam pengamanan negeri. Sebuah kenyataan yang sudah turun temurun dilakukan.
Jangan coba-coba mengenakan pakaian merah ketika berada di Tut Woen atau saat hendak mendaki gunung Makara dan Baluk Tufin, karena warna itulah yang selalu dikenakan para penunggu negeri keramat itu. Jika ada yang mengenakannya juga maka bersiap-siaplah untuk hilang atau ditimpa penyakit sinting alias gila.
Keyakinan ini mendarah daging dalam kesadaran orang-orang pribumi Kur! Apalagi yang sejak lahir, besar hingga tua tidak kemana-mana hanya hinggap di sepenceng pulau kecil itu menanti ajal datang menjemput suatu hari! Semangat untuk membela kepercayaan kuno itu boleh dibilang sama dengan keyakinan mati syahid dalam Islam. Jangan sembarangan mengobok-obok kepercayaan kuno, paluil nanti sakit perut! Begitu doktrin yang diajarkan kepada anak-anak yang sudah mulai belajar mengeja kata.
Pada awalnya aku bingung ketika menyaksikan pranata sosial masyarakatku diatata di atas pondasi yang masih diwarnai bumbu-bumbu animisme seperti ini. Kenapa Tuhan di negeri keramat hampir dilupakan dan digantikan posisinya oleh roh-roh gaib? Apakah Tuhan hanya sekedar formalitas dan roh-roh gaib itu yang menjadi realitas? Mungkin karena yang disembah ternyata dua sekaligus; Tuhan dan roh gaib. Tuhan disembah ketika di Mesjid dan roh gaib disembah di tempat-tempat angker. Sebuah fakta yang dalam ajaran agama Islam disebut sebagai syirik. Tapi lagi-lagi apakah masyarakatku sudah melakukan syirik? Sebuah pengalaman spritual pertama; pelajaran mencari Tuhan!!
Banyak tempat aneh yang butuh didefinisikan dari negeri ini. Tut Woen, Bebak Werlen, Faut Kapuin, Halur Bulees, hingga Tanjung Soit di sebelah barat Pulau Kur. Semua ini menjadi tugas para intelektual anak negeri yang berangkat menuntut ilmu di kota-kota itu. Mampukah mereka melakukan purifikasi ajaran adat, agama dan budaya sehingga tidak sampai tumpang tindih dipahami oleh warga yang awam? Semakin menggoda hati, ketika aku menyaksikan pecahan ombak menghantam dinding Kapal Batu di depan Lian Sangur! Tidak bisa kubayangkan bagaimana batu ini bisa menjadi monumen sejarah entah berantah? Sama halnya dengan Burung Fatsual, Faut Yaar, dan Pajamaran di Faut Kapuin di pertengahan dua kampung Ngur Maloos dan Hirit. Fenomena lokal yang menggugat pranata-pranata ilmiah tetapi menantang untuk didefinisikan dengan menggunakan beragam pendekatan.

NOVEL MENCARI CINTA - MUQADDIMAH

Dengan Menyebut Nama Allah Arrahman dan Arrahim

Maha Suci Allah yang telah menciptakan cinta, dan memanjakan hidup dengan cinta, lalu dari cinta memancarlah aura kehidupan menjadi aneka warna pelangi yang melambangkan keindahan dan keelokan sebagai ekspresi dari sifat jalal dan jamal-Nya!


Aku menulis disaat matahari hendak menapaki ufuk kehidupan. Disaat kondisi alam masih perawan dan memancarkan aroma muda penuh hasrat. Berpadu dengan sayup-sayup suara burung kelelawar yang berpesta ria menghabiskan buah-buah matang penginggalan sisa hari-hari yang telah lewat. Seiring kokok ayam jantan subuh hari yang membangunkan manusia untuk menunaikan kewajiban kepada Tuhan. Jemari tanganku lincah bergerak menari kesana kemari di atas kertas, laksana kaki yang terpeleset di atas ubin licin karena diguyur embun semalaman.
Inilah duniaku. Aku menatapnya dengan mata terbuka menyala. Aku sungging senyum sebagai pertanda sangat berhasrat untuk menyatu dengannya. Aku ingin merengkuh cahaya fajar yang hendak memutihkan ufuk, biarlah aku hanyut menjadi lautan putih cahaya dan hangus terbakar dalam hasrat cintaku. Aku ingin menjadi kelopak daunan mawar yang melambai-lambai bahagia ditiup angin Subuh hari, karena sebentar lagi harus menerima pancaran cahaya matahari pagi.
Kuawali tulisan ini dengan menyebut asma Allah Yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang! Bismillahi yang dengan menyebut nama itu, sirnalah segala benci di segenap penjuru alam dunia dan larutlah segala cinta dalam keheningan puncak bernama makrifat dan cinta kepada-Nya.

SAMBUTAN NOVEL MENCARI CINTA

DR. Arifin Rada,SH. MH.

Di awal tahun 2009 lahirlah sebuah Novel dari seorang anak negeri yang berdiam di suatu wilayah yang jauh dari tradisi berkarya seni. Maksud utamanya tentulah hendak menciptakan tradisi peduli Novel. Ini adalah suatu hal yang patut dihargai dan secara pribadi saya memberikan apresiasi kepada saudara Syahril.
Saudara Syahril sebagai penulis novel adalah potret dari seorang anak negeri yang berkemauan keras menggapai cita-cita. Secara pribadi saya mengenalnya saat masih aktif di bangku kuliah dan masih menjadi wartawan. Disaat itu ia terbilang sangat kreatif di berbagai bidang. Bahkan seingat saya, dirinya sudah menjadi asisten dosen dan ditawarkan menjadi Dosen di almamaternya, tapi rupanya ia berpikir lain, harus pulang ke tanah kelahirannya di Kei Maluku Tenggara.
Novel yang berada dihadapan Anda ini adalah potret kegigihannya dalam upaya tak kenal lelah untuk dapat meningkatkan kemampuan menulisnya. Baik tulisan yang ada di novel ini maupun tulisan-tulisan lain yang berserakan di berbagai media cetak.
Novel ini mengisahkan perjalanan kehidupan pribadi seorang anak manusia yang penuh berliku, dimana saat dirinya membutuhkan belaian kasih seorang ibu, tapi buktinya sang ibu lebih awal pergi penghadap Sang Pencipta saat ia masih usia bocah.
Dapat dipahami benar peran ibu dalam membangun mental dan spiritual anak. Ada satu nasehat penting dari Dorothy Law Nolte yang patut kita simak relevan dengan unsur ibu dan juga tema cinta yang disinggung dalam novel ini; Kalau seorang anak hidup dengan kritik, ia akan belajar menghukum. Kalau seorang anak hidup dengan bermusuhan, ia akan belajar kekerasan. Kalau seorang anak hidup dengan olokan, ia belajar menjadi malu.
Kalau seorang anak hidup dengan rasa malu, ia belajar merasa bersalah. Kalau seorang anak hidup dengan dorongan, ia belajar percaya diri. Kalau seorang anak hidup dengan keadilan, ia belajar menjalankan keadilan, ia belajar tentang iman. Kalau seorang anak hidup dengan dukungan, ia belajar menyukai dirinya sendiri. Kalau seorang anak hidup dengan penerimaan serta persahabatan, ia belajar untuk mencintai dunia.
Dengan demikian novel ini juga bukan sekedar rangkaian kata-kata. Tetapi merupakan perlawanan penulis terhadap kecenderungan sosio politik dan sosio kultural yang kadang tuli dan tidak perduli terhadap realitas di sekelilingnya.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib r.a pernah berkata ”ikatlah ilmu dengan menuliskannya”, untuk menunjukan betapa pentingnya menulis (”mengikat” apa yang masuk ke dalam diri).
Menulis atau ”mengikat” akan membuat si penulis dapat menyusun dan kemudian mengkonstruksi pengetahuan yang dimilikinya. Pengetahuan yang banyak tetapi tersebar, tidak terikat, mustahil dapat memberikan manfaat yang besar.
Sebaliknya, apabila setiap pengalaman (apalagi jika pengalaman itu mengandung banyak pengetahuan) dapat ”diikat” kemudian ditata, tentu pengalaman itu akan menjadi ilmu yang bercahaya.
Demikian pengantar saya dengan harapan, semoga novel ini melahirkan semangat, kegigihan, upaya tak mengenal lelah; dan lewat kegiatan menulislah, saya ingin memastikan bahwa kualitas Syahril terus meningkat sesuai dengan ilmu yang masuk.
Saya berdoa, semoga novel ini dapat mendorong rekan-rekan Syahril dan siapa saja yang membaca novel ini, untuk mengikuti jejaknya.
Ternate, 17 Januari 2009

PENGANTAR NOVEL MENCARI CINTA


BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

Segala puji bagi Allah Tuhan Yang Mahaindah dan Mahacantik. Mulut lelah untuk mengucap syukur, hati lemas menanggung perjuangan, raga apalagi! Tetapi Dia tidak pernah melihat kelemahan hamba-Nya sebagai dosa, melainkan alpa yang harus diampuni.
Shalawat dan Salam semoga terlimpah curah selalu kepada arwah dan raga Kanjeng Tuan Nabi yang budiman; Muhammad Rasululloh Saw, keluarga ahli bait yang mulia dan suci serta para sahabat, ulama, para wali, salihin-salihat, mu’minin-mu’minat, muslimin dan muslimat dimana saja mereka berada.
Sebuah Novel yang sudah saya rintis sekian lama akhirnya rampung pada bulan Ramadhan 1429 Hijriyah yang penuh berkah. Bertepatan dengan tahun 2008 bulan September. Sebuah upaya yang sangat melelahkan setelah jatuh bangun menambal dan memperbaiki kekurangan isinya disana-sini.
Awalnya saya berpikir, bisa membuat sebuah buku fiksi seperti ini dengan tampilan yang agak berbeda dengan buku-buku fiksi lain pada umumnya, yaitu semasa masih aktif kuliah di Fakultas Tarbiyyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Ternate dulu. Sejak itu saya sudah memulai menulis dengan judul yang berbeda-beda; Pertama kali saya gunakan judul ARIF MENCARI CINTA, tetapi setelah jauh melangkah judul itu saya rubah; CINTA BERPENDAR DI ATAS BUMI MAKARA, namun lagi-lagi saya rombak total judul dan sebagian besar isinya karena tidak konek dengan maksud awal; mengungkap rahasia cinta dalam pencarian.
Atas hidayah dan pertolongan Allah jua, akhirnya judul dan isi yang sekarang ada di tangan pembaca bisa rampung dengan baik. Didasari beberapa pertimbangan sederhana, Pertama ; untuk menyederhanakan maksud dan tujuan pembaca mengambil kesimpulan, maka proses penuturan kisah dalam Novel ini tidak monoton bercerita persoalan cinta, tetapi dipadukan dengan kebudayaan masyarakat Kur dan perjuangan manusiawi dalam menggapai tujuan dengan pernak-perniknya dan warna tersendiri sebagai implementasi keindahan lain milik Tuhan.
Kedua; sebagai pendukung pertimbangan awal itu, maka Novel ini dibagi perdua bagian; bagian pertama merupakan kisah yang langsung dituturkan oleh sang tokoh! Sehingga bagi setiap pembaca, seakan-akan ia sendiri yang menjalani proses-proses itu. Sementara, bagian kedua menganut gaya penuturan pasif. Artinya, kisahnya sudah dituturkan orang kedua dan atau orang ketiga, bukan lagi pelaku atau orang pertama. Maksudnya adalah agar di bagian ini pembaca bisa memetik hikmah secara lengkap dan lebih mendalam.
Ketiga; sebagai pengayaan pada dua bagian akhir Penulis menyertakan bacaan suplemen dari kisah cinta yang mengharu-birukan rasa yang terambil dari karya agung sufi terkenal Fariduddin Al Athar tentang kisah cinta Syech San’an dan gadis Rumawi bernama Cahaya Matahari. Disudahi dengan Munajat.
Semoga paket Novel ini menjadi sesuatu yang berguna dalam menambah referensi penghayatan terhadap nikmat tertinggi Tuhan yang disebut cinta, sehingga kita semua mewarnai hidup ini dengannya; mencintai karena Allah dan membenci karena-Nya jua.
Kemudian selain dari pada itu, saya menekankan kepada Pembaca yang budiman bahwa isi novel ini bukan pengalaman seratus persen dari seseorang tokoh; justru itu tidak bisa disebut sebagai Novel fakta. Dan juga, tidak dikatakan fiktif seratus persen karena ada beberapa hal yang benar-benar fakta. Saya akan sebutkan biar Pembaca sekalian tidak bingung;
a. Sejarah dan adat istiadat masyarakat Kur dan beberapa tempat yang disinggung sebagai bagian dari alur Novel ini memang benar-benar ada dan termasuk fakta.
b. Keberadaan tokoh pelengkap dari runutan keturunan tokoh utama (Muhammad Sobaruddin) dari jalur Raut Sinen, Leba Surein, Qua, kemudian informasi sekilas dengan marga Boiratan dan lainnya dalam isi Novel ini memang benar-benar ada. Hanya saja, proses penulisan ini dikaburkan pada tokoh utama sehingga tidak ada klaim bahwa isi novel ini murni pengalaman seseorang.
c. Pengalaman interaktif dari tokoh utama; meliputi latar belakang pendidikan dan karier memang murni merujuk kepada pengalaman Penulis sendiri agar lebih terfokus dalam merangkum tujuan utama.
d. Dalam beberapa hal, Penulis menyertakan catatan kaki pada beberapa kata maupun tempat serta nama sehingga bisa dirujuk dari sumbernya yang lebih autentik.

Hal ini harus saya kemukakan pada Pengantar ini sehingga melepaskan Penulis dari tuntutan dan klaim yang tidak seharusnya ada akibat terbitnya Novel ini, karena beberapa teman dan kenalan pada saat membaca naskah awal sempat mengajukan pertanyaan ; apakah Novel ini adalah akumulasi dari pengalaman hidup penulis sendiri? Maka sekali lagi saya jawab tidak seratus persen seperti yang sudah dikemukakan di atas.
Demikian, sebelum disudahi saya persembahkan terima kasih serta penghargaan sebesar-besarnya kepada semua yang menginspirsi lahirnya karya ini. Kepada ayah bunda, semoga Allah SWT mengasihi kalian seperti kalian mengasihani nanda semasa kecil. Kepada kedua adik saya yang merelakan masa muda mereka terenggut untuk studi kakak mereka; Fiqih Maruf dan Anwar Zadat semoga Allah menunjuki kalian jalan kembali yang lurus kepada agama-Nya.
Kepada guru-guru saya di SD hingga Perguruan Tinggi; Bapak J.Renhoran, Bapak Santiasa Boyratan, Johanis Samderubun, J. Yamlean, Taher Maswatu (Almrhm), A.Kadir Rettob, M. Rumles (Almrhm), Dahlan Ohoirenan, M.Lutfi Ohoirenan.
Kepada dosen-dosen saya; M. Yahya Misbah MA (Sekarang sudah dimana Pak setelah tidak lagi menjabat Ketua STAIN? ), Drs. Abdjan Yahya. M.Ag, DR. M. Ishom Yoesqy, MA (Biar sudah ditarik kembali oleh Departemen Agama RI Pusat tapi lihat-lihat kami yang di Ternate juga, yah Pak!), DR. Abd. Rahman Marassabesy, MA (Terima kasih atas bimbingannya dalam menuntaskan Skripsi Tasawwuf saya) Bpk DR. Yunus Namsa, Msi, Bpk Adnan Mahmud, MA, Sahjad M. Aksan MA, Dra. Junaena Misbah, Sulaeman L Azis, Msi, Jubair Sitomorang, MA, Dra. Basaria Nainggolan MA, Hamzah Giling MA. Pak Dosen yang guyonan filsafatnya merontokkan nyali Bapak DR. Syarifuddin Ghazal M.Si.
Kepada seluruh civitas akademika STAIN Ternate. Kepada Dosen dan orang paling berjasa mengenalkan dasar-dasar jurnalistik praktis kepada saya; Bapak DR. Arifin Rada, SH, MH saya ucapkan banyak terima kasih atas jasanya tidak sanggup saya balas. (Maaf Pak! saya masih merepotkan dengan harus meminta sambutannya, he he).
Kepada Kanda Ust. Nawawi Saidi Karit, SHI dan istrinya Nurul’aini Hanafi serta dua ponakan saya yang cakep dan menawan Muhammad Fikri Haikal Annawawi dan Siti Kholila Humaira Annawawi, Abang Ali Lafuku dan istri Kak Ida Boiratan serta anak-anak; Jana (Almrhmh), Alan, Dafi, Wati dan Hilda, Abang Djen Boyratan dan istri, Om Muhammad Mardjan Rumagorong (Almrhm) dan Mama Ani serta anak-anak, Bapak Dayan Rumagorong dan Mama Fifa, Om Hairan dan Mama Bayu, Om Timo Salea dan Tante Ida Halim, Bapak Moh. Kasim Mafinanik dan Ny. Kaida Boyratan, Djuanda Boyratan (Almrhm) dan istri Ny. Eta Boyratan, Bapak Rustam Djohar dan Mama Ben, Abang Azis Fidmatan, S.Sos, M.Si dan Mba Yuni. Saudara-saudariku; Abdu, Abdul Hamid, Dali, Jamal, Cen, Erawati, Jamalia, Innoi, Nona, Sari dan segenap kelompok pelajar mahasiswa Kur di Ambon, khusus di Batu Tagepe.
Kepada komunitas mahasiswa Kur Fak Fak, Eman, Muh. Ali, Ema, Jani, Rizal, Safarudin, Abd. Salam, Abd. Latif, Saifudin, Mohrani, Erfina, Inda, Ona, Siti, Orip, Aci, dan lain-lain. Selamat berjuang untuk menuntaskan misi cita-cita (semoga sukses selalu). Tidak lupa juga karya ini kupersembahkan kepada adik yang gigih berjuang Fatma Letsoin (Kamu satu-satunya contoh terbaik Srikandi negeri Kilsoin yang megalir bagai air, merambah menembus dinding tradisi beku untuk menuntut ilmu di tanah Jawa. Saya bangga padamu).
Juga untuk mengenang Shandra di tahun 1999-2000 (semoga selalu bahagia bersama keluargamu). Dan spesial kutulis sebagai bunga pengharum pusara cintaku dalam kenangan yang lahir pada 2001 dan wafat pada hari Rabu malam tanggal 11 Nopember 2009 sekitar pukul 23.30 WIT. Juga untuk segenap mereka yang bersungguh-sungguh di jalan cinta, semoga Allah ridha dan menuntaskan misi mulia itu di dalam agama-Nya!
Spesial Novel ini kutulis sebagai hamparan mutiara menanti calon bidadari yang kelak mendampingi hidupku, yang sampai saat ini sosoknya masih menjadi rahasia bagiku dimana pun dia berada, (Semoga Allah mempertemukan kami dalam nuansa kesucian, saling mencintai dan membenci karena Allah semata, bukan harta, bukan rupa, bukan pangkat dan jabatan tetapi karena agama).
Kepada teman-teman di HIPMMAT Ternate, (bagaimana kegiatannya kini? ) kepada akhi dan ukhti para aktivis da’wah kampus (LDK) Al Ishlah STAIN Ternate dan Babussalam Unkhair Ternate, teman-teman di KAMMI/ KAMDA Maluku dan Maluku Utara, para aktivis kajian kiri dan kanan yang sempat bersentuhan dengan Penulis. Teman-teman di HMI MPO dan HMI DPO, PMII dan IMM baik di Maluku utara, Maluku, maupun Tual Maluku Tenggara.
Kepada Bpk Taraweh Djamaluddin Pemimpin Redaksi Harian Cermin Reformasi (Almrhm), Sobat-sobat saya para jurnalis yang tidak kenal lelah memperjuangkan kebenaran lewat ujung pena mereka; Burhan Hi. Ismail, Syahril Siradju, Wati, Udin, Uni, Alex, Lismawati, Ahyar Hanubun, Fatmawati dan lain-lain yang tidak habis-habisnya saya sebut walau ditambah beberapa buku lagi.
Kepada peserta Tranning Infestigative Report Jurnalisme Pice BBC World Service Manado angkatan 2005; yang juga turut menginspirasi penulisan Novel ini (saya sudah menulis! Bagaimana dengan teman-teman yang lainnya?)
Kepada guru-guru non formal saya yang dari mereka saya banyak belajar hal-hal yang tidak biasa. Kepada para sufi, para wali, para syuhada dan sholihin saya sampaikan do’a dan perantara semoga Ridha Allah menyertai usaha ini.
Akhirnya dari lubuk hati yang paling dalam saya sampaikan permohonan maaf yang sebesar-besarnya jika terdapat kata-kata yang tidak berkenan dalam penulisan Novel ini, karena maksud saya tidak menghendaki ada kebencian yang lahir setelah membacanya melainkan cinta. Semoga bermanfaat, terima kasih sebanyak-banyaknya atas bantuan berbagai pihak yang memungkinkan karya ini bisa terpublikasi. Kepada Penerbit Yayasan Fatsual Mandiri saya ucapkan terima kasih atas kesediaan mempublikasikan karya ini. Semoga Allah membalas jasa baik kalian semuanya. Ma’assalamah wal afwu minkum.



Syahril Rumagorong

Selasa, 16 Februari 2010

Akar Kekerasan di Kei



M.Syahril Rumagorong

Kekerasan lingkungan, sebuah pemandangan yang rasanya bukan perkara baru bagi kita; karena saban waktu hampir selalu menyeruak menjadi fenomena lokal yang selalu menghiasi layar kaca dan lemabaran kertas Koran. Seakan-akan milik kita hanyalah kekerasan dan kekerasan, tidak pernah ada kearifan untuk melihat segala sesuatunya dari sisi rahmat melainkan kutukan. Belum lagi media massa yang karena alasan kekebasan pers telah mengkristalkan isu kekerasan ini menjadi sebuah kebudayaan konstruksi utuk kita ; seakan-akan kita adalah orang-orang keras. Kekerasan kita telah dibingkai dalam kemasan informasi dan gambar untuk mengokohkan itu.
Kekerasan sosial yang terkadang muncul ke permukaan Tanah Adat Evav sejak beberapa tahun terakhir ini adalah sebuah kondisi yang berjalin dan berkelindan dengan berbagai fenomena sosial lainnya yang kompleks dan butuh beragam pendekatan untuk memahami sekaligus menuntaskannya. Fenomena sosial yang saya maksudkan ini adalah gejala-gejala kontemporer yang mereduksi nilai-nilai kultural historis warga Kei menjadi beringas dan mudah mengamuk. Falsafat adat dan leluhur yang tersimpan dalam ajaran ain ni ain yang berlambangkan Larvul Ngabal dengan semangat “fuut an mehe ngifun manut en mehe tilur” yang disimbolkan dengan “satu telur” yang menetas menjadi bermacam-macam, beraneka ragam, berkelompok-kelompok suku, adat istiadat, bahasa, agama dan lain-lainnya di tanah Kei ini pada intinya hanya berasal dari satu kesatuan yang tidak bisa dipisah-pisahkan. Karena satu, maka warga Kei itu adalah bersaudara dan berinteraksi selayaknya saudara bukan musuh.
Saya merasa tertarik dengan tulisan sdr. Arifin Rada yang pernah dimuat oleh Koran ini dengan judul “Membangun Kembali Tiga Pilar di Tanah Kei”. Tulisan cerdas itu setidaknya menjadi pengantar awal mengenali sosok budaya Kei yang sebenarnya dan sekaligus menepis akan anggapan bahwa budaya Kei setidaknya telah mengakomodir prinsip kelas atau “perbudakan” dalam masyarakat dengan simbol tiga stratifikasi masyarakat ; mel-mel, iri-ri dan ren-ren.
Ternyata, tiga pilar itu telah keliru terbingkai dalam jendela pandang orang luar (bukan orang Kei) bahkan oleh sebagian orang Kei yang memiliki pemahaman picik, konyol dan kolot terhadap budayanya sendiri. Jika menggunakan pendekatan tafsir hermeneutika untuk menelisik falsafah adat Kei ini, maka sudah sangat jelas sekali bahwa pandangan kelas-kelas atau perbudakan dalam masyarakat itu sangat ditentang oleh aturan hidup leluhur Kei sendiri yang telah menyusun prinsip atau falsafah hidup Larvul Ngabal dengan berbagai macam slogan adatnya, yang tidak ada satu pun diantaranya yang mengakomodir praktek klasifikasi atau pengertian martabat-martabat sosial dalam masyarakat. Dengan demikin, jika ada klaim darah biru, darah coklat, bahkan mungkin ada darah emas (apakah memang ada??) dari sekelompok orang terhadap yang lain untuk meneguhkan sikap arogansi kekuasaan dan status quo baik dalam hal kepemilikan asset territorial (laut,darat dan udara) maupun yang lain-lainnya sehingga dengan semena-mena mengesampingkan kelompok yang lain adalah sebuah tindakan brutal dan salah besar karena telah keluar dari semangat inti aturan adat Kei itu sendiri yang menganut prinsip keberagaman dalam satu itu.
Dari sisi ini, saya pikir telaah historis terhadap nilai rumusan adat Kei ini telah tuntas. Tidak mungkin semangat hukum Larvul Ngabal dibuat untuk melindungi kepentingan segelintir orang, karena prinsip hukum adat ini jelas melindungi kepentingan tiga tungku itu secara keseluruhan tanpa terkecuali. Ketika oknum yang mengaku raja-raja Evav dengan sepihak menobatkan David Tjioe sebagai putra mahkota Dir U Ham Wang karena menganggap diri pemegang otoritas kekuasaan Tanah Evav, spontan masyarakat Kei; yang besar, kecil,tua muda semuanya bangkit dan menantang keputusan itu hingga gelar kehormatan itu dicabut kembali lewat upacara adat di atas Jembatan Penghubung Langgur dan Pulau Dullah.
Indikasi ini semakin meneguhkan pemahaman saya bahwa inti tujuan adat Kei adalah untuk melindungi seluruh komunitas yang dipersaudarakan dalam prinsip “satu telur” itu sehingga hidup berdampingan satu dengan yang lain dalam bingkai ain ni ain, saling menjaga dan memelihara. Maka prinsip ini seharusnya didalami oleh semua pihak termasuk birokrasi pemerintahan di Kei untuk mengoptimalkan pembangunan secara merata dan adil kepada seluruh komponen masyarakat tanpa melihat ini kelompok biru, jingga, abu-abu dan seterusnya dan sebagainya karena yang ada adalah saudara kita sesame orang Kei juga.
Telaah yang terakhir ini, menjadi permasalahan yang saya sodorkan untuk kita semua memikirkan bentuk kelanjutannya. Meminjam teorinya Emile Durkheim terhadap teori-teori sosial maka saya berani katakan bahwa kekerasan di Tanah Kei pada intinya mencuat akibat sisitim dan sirkulasi kekuasaan yang terkadang tidak adil mengakomodir nilai-nilai historis adat istiadat Kei sebagaimana maksud saya pada paragrap awal di atas. Kekuasaan baik di bidang apa saja di Kei ini masih berorientasi pada pembangunan “modal” ketimbang untuk menyadarkan masyarakat lewat tindakan nyata akan pesan-pesan demokrasi dan humanisasi dalam bingkai adat Evav.
Kita punya kearifan budaya lokal, tetapi hanya sebatas nama ; karena dalam kenyataanya elit-elit kita tidak mampu mengaktualisasikan itu jadi sebuah “format” jawaban untuk menyelesaikan berbagai macam ketimpangan sosial yang sekian lama mendera kehidupan komuntas kita. Berbagai macam kesenjangan sosial seperti pengangguran, rendahnya kualitas sumber daya manusia (SDM), menipisnya lahan pertanian, berkurangnya lapangan pekerjaan, menjadi “bidan” lahirnya bayi kekerasan demi kekerasan yang dipertontonkan kepada khalayak publik akhir-akhir ini.
Inilah persoalan yang melatarbelakangi aksi kekerasan demi kekerasan pada tahun-tahun terakhir ini. kecemburuan sosial, ketidakpercayaan masyarakat terahadap praktek penegagakan hukum, memudarnya harapan untuk menggapai masa depan yang lebih baik akibat pendidikan warga yang tidak layak dan berkualitas menjadi boomerang bagi upaya pembangunan Tanah Kei ke arah yang lebih arif. Persoalannya bukan karena kita kehabisan modal (asset) melainkan karena asset itu hanya berputar di tangan para elit dan mereka yang punya akses dengan kekuasaan. Sementara mereka yang hidup di pojok-pojok kampung, pulau, lembah, ngarai, dan lainnya hanya jadi penonton. Sadisnya lagi mereka hanya dijadikan sebagai komoditas politik para politisi bualan yang datang berkunjung saat ada maunya, ketika maunya sudah tercapai masyarakat lalu dilupakan. Sungguh-sungguh sangat ironis.
Dengan demikian, tawaran format utuk perbaikan Tanah Kei haruslah diawali dari lingkungan sosial yang memiliki kapasitas terbesar yaitu kekuasaan yang disimbolkan dengan istilah mel-mel (Harap tidak gegabah memaknai mel-mel disini sebagai kelompok bangsawan, karena terjemahan seperti ini tidak tepat untuk memaknai kearifan budaya lokal di Tanah Kei). Mel-mel itu adalah penguasa yang seharusnya berbuat sebagai layaknya pemimpin yang ketika di depan jadi panutan, jika disamping sebagai penyemanagt dan dibelakang sebagai pendorong. Ketika para pemimpin gagal memerankan fungsi ini maka di tingakt masyarakat yang nota bene ren-ren dan iri-ri akan muncul chaos dan pemberontakan; termasuk dilampiaskan dalam berbagai macam bentuk sebagai dampak dari psikologi sosial yang tertekan dan termarjinalkan oleh sistem ketidakadilan itu. ***

Minggu, 14 Februari 2010

Kapitalisasi Pendidikan




M.Syahril Rumagorong


Inilah hantu gentayangan dan vampire penghisap darah yang menjadi baying-bayang ketakutan dunia kecerdasan dan ilmu pengetahuan yang digagas para Nabi dan manusia suci. Betapa tidak? Kapitalisasi pendidikan telah merubah paradigma dan orioentasi dunia yang satu ini ke arah yang berlawanan dengan spirit ilmu pengetahuan itu sendiri. Menyeretnya me-njauhi hakikat penge-tahuan sejati dan menye-lewengkan cara dan tuju-annya kepada uang dan harta benda. Jadi, pendidi-kan adalah usaha sadar yang dilakukan untuk merubah manusia dari tidak tahu menjadi tahu, dan setelah tahu tidak tanggung-tanggung untuk mengkhianati pengeta-huan nya sendiri. Pendidi-kan bukan lagi alat untuk mencerdaskan man-usia warga bangsa, pendi-dikan juga bukan lagi alat untuk memerangi kemi-ski-nan,keterbelakangan, pen-yakit, korupsi, kolusi dan nepotisme, tapi pen-didikan telah dise-lewe-ngkan menjadi alat kaum pemodal dan pengidap penyakit materi-alisme untuk terus mem-perkukuh harta dan kekua-saan. Prinsip pendidikan yang oleh Paulo Freire disebut-sebutnya ajang untuk pembebasan man-usia itu malah menjadi alat penin-dasan. Semakin men-guku-hkan pikiran-pikiran pemo-dal birokrasi atas penye-lenggaraan pendidi-kan sebagai toko jualan sembilan kebutuhan po-kok, atau warung sontong dan pabrik indus-tri untuk memproduk barang yang ujung-ujung-nya adalah menghim-pun fulus untuk bikin mampus sesama. Seorang teman pernah mencerita-kan ana-knya baru-baru ini, saat he-ndak mengikuti tes masuk sebuah perguruan tinggi negeri di Makassar, pada jurusan kedokteran telah terjadi sebuah ajang kibul-kibulan orang dalam yang lalu menyulap lembaga itu menjadi wa-rung jual jasa. “Jika ingin untuk bisa diterima, sedia-kan uang tiga puluh juta rupiah untuk jadi pelicin” ujar seorang staf pengajar yang jadi panitia peneri-maan di situ, seperti dikutip teman saya. Coba anda renungkan, bagai-mana untuk bisa menjadi seo-rang mahasi-swa kedo-teran saja harus melewati jalur praktek gelap dengan keharusan untuk meme-nuhi perm-intaan uang sebanyak itu. Apakah ini akan menjamin, di kemudian hari ia akan tulus ikhlas melayani pasien-pasien-nya?. Ini hanya sebuah contoh betapa dunia pendidikan kita telah diperkosa habis-habisan oleh mereka yang rakus dan tamak terhadap harta duniawi sehingga melu-pakan tujuan asli pendi-dikan untuk melahir-kan manusia saleh yang kelak menjadi khalifah di bumi. Alih-alih mau jadi khalifah di bumi, menjadi khalifah untuk diri sendiri dan keluarga saja sudah tidak becus. Mereka selalu saja berbuat tidak jujur. Kena-pa? Kebanyakan uang yang diperoleh rata-rata masih berstatus abu-abu. Syari’ah Islam menyebu-tnya sebagi uang subhat, yang tidak jelas status halal atau haramnya. Jangankan itu, uang yang statusnya jelas-jelas ha-ram juga akan dipelintir sedemikian rupa sehingga seolah-olah menjadi uang halal, lalu diamankan di pundit-pundi keluarga, famili dan kroni untuk semakin memperkukuh imperialismenya di bidang pendidikan. Kampus-kampus dibuka dimana-mana dengan berbagai macam jurusan, tetapi out putnya tetap memiris hatidan membuat pesimis.
Hingga kapan praktek seperti ini akan berakhir? Padahal dari tahun ke tahun, periode ke periode masing-msing Mendiknas selalu menyodorkan for-mula dan programnya untuk dapat mencetak anak bangsa yang ber-kualitas, namun ironisnya kondisi di lapangan justru menja-dikan wajah pen-didikan kita sedih dan muram seperti gadis yang telah direnggut paksa kepera-wannya dan tinggal menyesali nasib yang tidak berguna. Inilah fenomena dunia pendidi-kan kita yang tengah kehilangan spirit dan ruhnya, dan hanya menyi-sakan bangkainya yang kosong lalu dikenakan ruh genderuwo dan setan alas bernama kapitalisme untuk semakin menyesatkan kehidupan di bumi, meny-engsarakan manusia dari masa ke masa, agar mereka manusia ini tidak dapat menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai wakil Tuhan di bumi. ***

Bangsa Plagiator

oleh : M. Syahril Rumagorong

Seorang teman bilang begini ; kalau mau belajar membuat pesawat belajarlah ke Amerika, kalau mau belajar membuat kapal belajarlah ke Jerman, kalau ingin mahir dalam pemerintahan belajarlah ke China, dan kalau ingin mahir jadi tukang tiru maka belajarlah ke Indonesia. Sepintas ucapan itu mungkin berbau humor, tetapi jika diteliti kemungkinan ada benarnya.
Betapa tidak, kondisi masyarakat kita dewasa ini tengah dibentuk oleh sebuah sistem pengajaran (bukan pendidikan, hati-hati) yang jauh dari karakteristik nilai budaya bangsa. Dulu, nenek moyang orang Indonesia membangun Candi dengan teknik dan model yang sangat luar biasa. Hasilnya, semua bangsa di dunia mengagumi bangunan itu sebagai citra bangsa yang independen dan asli Indonesia. Orang tua-tua zaman dulu di Kei Evav ini juga mampu menyusun aturan dan nilai falsafah hidup yang tertuang dalam hukum Larful Ngabal.
Pancasila dasar Negara Indonesia sendiri adalah tampilan hidup budaya bangsa yang sangat valid untuk menunjukkan jati diri bangsa dalam hal falsafah hidup. Tidak ada satu pun nilai-nilai Pancasila itu yang menjadi ideologi atau pandangan hidup impor ; meskipun dalam hal pembobotan nilai kita butuh masukan (impor) ideologi sosialis, liberalis dan agama untuk memperkaya nilai-nilai milik bangsa Indonesia yang asli muncul dan tumbuh dari tanah air negeri sendiri.
Catatan pinggir ini bermaksud mengingatkan kita ; betapa mulianya hidup sebagai diri sendiri dan sebaliknya betapa jeleknya hidup sebagai plagiator atau tukang tiru, tukang contek dan tukang copy paste. Sebab yang terakhir itulah cirri khas manusia beradab. Ada semacam mental baru yang sengaja disuntikkan oleh pesanan asing untuk melemahkan komitmen membangun bangsa dari dalam yaitu strategi untuk melemahkan lawan dengan memanfaatkan kelemahan lawan itu sendiri. Kita barangkali adalah bangsa yang kuat secara fisik tetapi adalah lemah secara mental. Kelemahan itu salah satu diantaranya adalah ; betapa gampangnya untuk menjadi si peniru.
Tidak sadar, karena mental betapa gampang itu kita lalu dijejali dengan aneka produksi iklan dan rayuan penjual produk impor, untuk tampil menjadi yang terbaik dalam segala hal. Saya pada saat menontot Film Die Hard yang dibintangi Bruce Willis, sempat termanggut-manggut menyimak kisah film itu yang mengisahkan tentang persaingan beberapa kelompok mafia hacker dalam menjalankan bisnis penipuan lewat jaringan internet yang kemudian satu diantaranya Hacker jenius bernama Matthew Farrell (white hacker) diamankan agen Polisi bernama Jhon (Bruce Willis).
Oleh Farrel, semua aksi kejahatan lawan-lawan hacker dunia hitam (black hacker) yang hendak membunuhnya ditelanjangi lewat informasi yang akurat kepada Polisi. Ia lah satu-satunya orang yang mengenalkan istilah “fire sale” sebagai program inti dari para Hacker hitam yang bermaksud memanipulasi data dan informasi degan menguasai semua jaringan informasi, tranportasi, komunikasi, dan lain sebagainya guna meraup keuntungan dari sasaran. Kata Farrel ; mereka akan membuat program palsu dan kemudian menawarkan ke sasaran (masyarakat) lalu menawarkan pula jalan keluar serta solusi seakan-akan kehadiran mereka adalah laksana dewa penyelamat, padahal tidak ada pengaruh apa-apa dari kejadian-kejadian yang dikhawatirkan dalam informasi manipulasi fersi Hacker hitam tersebut.
Relevan dengan hal ini barangkali adalah merebaknya korban iklan di Negara kita, dimana banyak orang dipaksa secara halus untuk mengkonsumsi atau memakai sesuatu yang sebenarnya tidak ada gunanya, karena hanya memperkaya industri yang memproduk barang-barang dimaksud. Kenapa demikian? Karena rakyat kita telah termakan isu, jadi tukang tiru. Kalau wanita seperti Luna Maya atau Cinta Laura ditampilkan di Televisi sebagai bintang iklan untuk mengenalkan iklan-iklan kecantikan dari produk kosmetik tertentu, maka sesungguhnya produk itu tidak dibutuhkan oleh orang-orang di pedamalan yang hidup selalu bertani. Kalau pun mereka berlomba-lomba untuk membeli juga maka itu hanya karena mereka menjadi korban informasi sejenis fire sale di atas. Sebab yang sangat mereka butuhkan saat ini adalah buku untuk anak-anak sekolah dan sarana pelayanan umum yang bisa membuat hidup mereka beranjak beberapa derajat.
Akhirnya, mau dikemanakan dan diapakan masyarakat bangsa ini kunci pointnya hanya terletak pada kemauan masing-masing kita ; apakah kita berani untuk berkata tidak kepada pesanan asing dan siap memajukan kondisi lokal ataukah justru kita semakin merasa tersanjung dengan banyaknya orang cantik dan ganteng yang dimanja aneka produk kosmetik di Televisi. ****